Rerasan
Muslimin Lamongan
HATIPENA.COM – Baru-baru ini viral video yang menarik: seorang guru SMA mengeluhkan tulisan tangan ulangan harian siswa-siswanya. Tak bisa dibaca meski menggunakan kaca pembesar. Sang guru kemudian “menyalahkan” guru-guru SD-nya: bagaimana cara mengajarnya. Kok tulisan tangan sebagian besar siswanya seperti benang ruwet. Tak jelas bentuknya. Namun, sang guru SMA tersebut mengklarifikasi dan minta maaf. Videonya bisa jadi membuat salah paham. Bisa membuat gaduh tanpa kejelasan. Apa yang dialami sang guru tersebut mungkin juga terjadi pada diri sendiri. Anak-anak kita sudah malas menulis dengan tangan. Pensil dan pulpen sudah lama ditinggalkan. Sekadar hiasan di meja belajar. Jari-jarinya lebih terampil jika menulis menggunakan gawai atau laptop. Rasanya menulis dengan pensil atau pulpen adalah pekerjaan berat yang tidak perlu dilakukan.
Melihat video itu, melayang ingatan saya pada 1980-an. Ketika masih bersekolah di SD. Waktu itu ada pelajaran menulis halus. Papan tulis panjang dibagi dua: yang satu papan bergaris khusus latihan menulis. Yang satu untuk mata pelajaran lainnya. Hampir setiap hari pelajaran itu diberikan. Menulis kata dengan huruf tak bersambung disebut “gedrik”. Menulis kata dengan huruf bersambung disebut “latin”. Untuk pelajaran ini buku yang dipakai disebut buku bergaris. Jadi adanya garis dobel di buku itu agar huruf yang ditulis tidak keluar jauh. Tulisan jadi tertata baik dan bisa dibaca dengan tepat. Hingga SMA, tulisan tangan saya cenderung miring namun masih bisa terbaca. Sedangkan teman-teman dari SPG tulisan tangannya cenderung tegak.
Agaknya pelajaran menulis halus itu sekarang mulai ditinggalkan. Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan gawai untuk mengirim tugas-tugas atau ulangan semakin meningkat. Padahal menulis dengan tangan itu mengandung rasa seni. Ada sensasi tersendiri, perasaan tertaut dengan jari-jari yang lincah ketika menulis. Menulis dengan tangan juga bisa mengaktifkan saraf-saraf di telapak tangan. Dari dua hal ini berarti menulis dengan tangan, yang halus dan bisa terbaca, membawa manfaat bagi penulisnya. Tampak sekilas menulis dengan tangan sebagai kegiatan sepele. Namun bila dilakukan dengan rasa yang menyertai, tulisan itu jadi bermakna. Apalagi jika menulis untuk sang kekasih, diiringi hujan, kopi, dan musik. Mensyahdukan! (*)
Lamongan, 19 April 2025