Buku Seri (10) – Asal Muasal Marga Way Lima Kabupaten Pesawaran
Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Di lereng Bukit Bumi Jaya, diceritakan hidup seorang pemuda bernama Arga. Ia adalah anak tunggal dari penyimbang tua yang dikenal sangat sakti dan dihormati, bernama Puyang Senulai. Di kampung Way Asri, tempat mereka tinggal, adat adalah nafas kehidupan. Mulai dari cara menyapa, hingga memanen padi, semua berpanduan pada nilai-nilai warisan leluhur.
Namun, zaman berubah. Anak-anak muda di kampung itu mulai pergi ke kota. Mereka belajar teknologi, menjadi dokter, insinyur, guru, bahkan selebriti daring. Banyak yang pulang tanpa adat; lupa cara melipat tapis, lupa cara hormat pada tua, apalagi mengenal bahasa Lampung.
Suatu hari, mata air keramat di kaki bukit mengering. Warga panik. Ritual nyunat cai (permohonan air) harus dilakukan, tapi tak ada yang bisa memimpin. Puyang Senulai sudah sangat tua. Maka ia memanggil Arga.
“Kau mesti pulang, Arga. Warisan ini hanya akan hidup bila engkau nyalakan kembali apinya.”
Arga ragu. Ia lebih fasih mengetik kode pemrograman daripada mancak atau ngaji adat. Namun malam itu, ia bermimpi bertemu leluhur. Dalam mimpi itu, leluhurnya berkata, “Anak muda yang tidak mengenal akar, akan tumbang oleh angin zaman.”
Esoknya, Arga memulai perjalanan baru. Ia belajar bahasa Lampung dari nenek-nenek, mencatat mantra dari para tetua, memfilmkan ritual lama dengan kamera ponsel, lalu membagikannya ke media sosial.
Dan akhirnya, dalam upacara nyunat cai, dialah yang berdiri di depan: mengenakan junjungan siger, menggenggam payan (tongkat) adat, mengucap bait-bait warisan.
Air pun mengalir kembali.
Warisan budaya adalah fondasi identitas suatu bangsa. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, tantangan pelestarian adat makin nyata. Generasi muda seringkali diposisikan sebagai generasi yang terpisah dari akar budayanya. Namun, sejatinya, mereka juga merupakan pewaris utama nilai-nilai luhur tersebut.
Masyarakat adat Lampung, khususnya di wilayah Way Lima dan komunitas pesisir, memiliki kekayaan budaya berupa filosofi adat, bahasa, simbolisme, dan praktik sosial-spiritual yang khas.
Esai ini menyoroti bagaimana generasi muda dapat dan sedang mengambil peran strategis dalam mempertahankan warisan tersebut melalui pendekatan baru: media digital, pendidikan, festival budaya, serta revitalisasi nilai-nilai adat dalam kehidupan sehari-hari.
Adat Lampung dibangun atas dasar sistem marga, kebandakhan, serta nilai-nilai inti seperti piil pesenggiri (harga diri), sakai sambayan (gotong-royong), nemui nyimah (keramahtamahan), dan nengah nyampur (partisipasi sosial). Struktur ini bukan sekadar simbolik, tetapi menjadi rujukan etis dalam pengambilan keputusan, relasi sosial, serta pelaksanaan ritus kehidupan dari lahir hingga kematian.
Sementara nilai spiritualnya terletak pada penghormatan terhadap leluhur, alam, serta hubungan vertikal dengan Yang Maha Kuasa melalui ritual-ritual adat seperti nyunat cai, ngukup, begawi, dan cakak pepadun.
Simbol-simbol seperti siger, tapis, dan bahasa Lampung menjadi manifestasi visual sekaligus sakral dari sistem nilai tersebut.
Peran Generasi Muda, Tantangan dan Potensi
- Krisis Identitas dan Jarak Budaya Banyak generasi muda Lampung yang tumbuh dalam lingkungan urban dan terasing dari tradisi leluhurnya. Bahasa Lampung tidak lagi digunakan sebagai bahasa ibu. Adat hanya dikenali sebagai bagian dari upacara pernikahan atau hajatan. Hal ini menunjukkan adanya gap antargenerasi dalam transmisi nilai.
- Media Sosial dan Revitalisasi Budaya Namun, di sisi lain, media sosial membuka ruang baru bagi generasi muda untuk memperkenalkan adat secara kreatif. Komunitas seperti Siger Creative, Tapis Blogger, hingga kanal YouTube pemuda adat Lampung kini memproduksi konten adat yang dikemas modern. Mereka memperkenalkan begawi dalam format vlog, mengajarkan bahasa Lampung dalam TikTok, hingga menghidupkan kembali lagu-lagu buay adat dengan aransemen elektronik.
- Pendidikan dan Penguatan Kurikulum Lokal Sekolah-sekolah di Lampung sudah mulai mengadopsi muatan lokal budaya dalam pelajaran. Pemuda-pemuda kini dilibatkan sebagai narasumber atau fasilitator. Program seperti “Satu Sekolah Satu Ritual Adat” menjadi contoh pengintegrasian tradisi dalam ruang formal pendidikan.
- Festival Budaya dan Inovasi Tradisi Festival semacam Festival Sekura, Lampung Krakatau Festival, dan Way Lima Adat Week menjadi ruang kreatif bagi pemuda untuk memadukan seni tradisional dan inovasi digital. Tari-tarian adat dipadukan dengan proyeksi multimedia. Tapis dimodifikasi menjadi busana modern. Ini menunjukkan bahwa adat bisa adaptif.
Nilai-Nilai Adat yang Relevan dalam Kehidupan Modern
• Piil Pesenggiri menjadi dasar etika profesional dan personal.
• Sakai Sambayan menjadi spirit kewirausahaan sosial.
• Nemui Nyimah menjadi praktik inklusivitas dan toleransi.
• Nengah Nyampur menjadi dorongan partisipasi aktif dalam masyarakat.
Pemuda Lampung kini mulai menyadari bahwa adat bukanlah beban masa lalu, tetapi fondasi masa depan yang berkarakter.
Dina, 25 tahun, adalah aktivis lingkungan dari Pesawaran. Ia menggagas program “Siger Menjaga Alam” yang mengedukasi warga tentang kearifan lokal dalam menjaga hutan. Ia menggunakan filosofi adat untuk menolak penebangan liar.
Sementara itu, Reno, 19 tahun, mengelola akun Instagram “Bahasa Lampung Harian” dengan 12.000 pengikut. Ia mengajarkan kosakata, pepatah adat, dan cerita rakyat dengan ilustrasi digital.
Mereka adalah contoh nyata bagaimana adat diwarisi dan diadaptasi oleh generasi baru.
Tantangan yang Harus Dijawab
• Kurangnya dukungan kebijakan yang berpihak pada pengembangan budaya lokal.
• Minimnya ruang kreatif untuk pemuda di pedesaan.
• Ancaman komersialisasi budaya tanpa pemahaman filosofis.
Namun, semua tantangan ini bukan penghalang bila pemuda mendapatkan akses, pelatihan, dan dukungan dari komunitas adat dan pemerintah.
Adat bukan hanya baju pangsi dan tari sembah. Adat adalah nilai, etika, dan spiritualitas yang hidup. Dan warisan itu hanya bisa menyala bila dihidupkan oleh tangan-tangan muda yang menyadari asalnya.
Sebagaimana Arga dalam cerita rakyat di awal tulisan ini, generasi muda Lampung kini adalah penjaga api. Merekalah harapan agar adat tidak menjadi benda museum, tetapi tetap menjadi napas kehidupan yang relevan, agung, dan membumi. (*)
Daftar Pustaka:
- Alqadrie, Syarif Ibrahim. (1992). Struktur Sosial Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
- Alqadrie, Syarif Ibrahim. (1999). Masyarakat Majemuk dan Konflik Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
- Djoko Suryo. (1991). Kebudayaan Tradisional dan Pelestariannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Hadikusuma, Hilman. (1989). Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Jakarta: Mandar Maju.
- Hadikusuma, Hilman. (2001). Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Balai Pustaka.
- Hadikusuma, Hilman. Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alumni, 1993.
- Hanani, M. (2014). Struktur Sosial Adat Lampung Saibatin dan Pepadun. Bandar Lampung: Universitas Lampung Press.
- Hidayat, D. (2021). “Perempuan dan Budaya Lokal: Studi Kasus di Komunitas Way Lima,” Jurnal Budaya Nusantara, 15(3), 45-58.
- Hidayat, Dedi. (2020). Tapis Lampung: Warisan Budaya Bernilai Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
- Kurniawan, Y. (2016). Adat dan Kearifan Lokal Lampung dalam Perspektif Sosio-Kultural. Bandar Lampung: UBL Press.
- Miftah, R. (2019). “Revitalisasi Tradisi Lokal melalui Media Sosial: Studi pada Komunitas Adat Muda Lampung.” Jurnal Komunikasi Budaya, Vol. 5(1).
- Mulyani, Nina Herlina. (2009). Makna Simbolik Busana Adat Lampung. Jurnal Humaniora.
- Pemerintah Provinsi Lampung. (2020). Dokumen Strategi Pelestarian Budaya Daerah. Bandar Lampung.
- Pemerintah Provinsi Lampung. Dokumentasi Kebudayaan Lampung Pesisir. Bandar Lampung: Dinas Kebudayaan, 2018.
- Pemerintah Provinsi Lampung. Ensiklopedia Budaya Adat Lampung. Bandar Lampung: Dinas Kebudayaan, 2019.
- Purnawati, D. (2017). “Sastra Lisan dalam Tradisi Lampung.” Jurnal Kebudayaan Lokal, 9(2), 122–136.
- Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
- Pusat Kajian Budaya Lampung. (2015). Warisan Budaya Takbenda Lampung. Bandar Lampung: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
- Sumintarsih, T. (2004). Simbolisme Alam dalam Budaya Tradisional Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Suminto, A. (2015). Modernisasi dan Budaya Lokal. Yogyakarta: LKiS.
- Suparman, Edi. (2005). Adat dan Budaya Masyarakat Lampung. Bandar Lampung: Balai Bahasa.
- Suparman, M. (2015). Filosofi Piil Pesenggiri dan Implementasinya dalam Masyarakat Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
- Suryadi, A. (2020). Perempuan Adat dan Kearifan Lokal. Jakarta: Balai Pustaka.
- Suryadi, Agustinus. Tradisi Lisan dan Identitas Budaya di Lampung. Yogyakarta: Ombak, 2010.
- Suttan Ratu Darma Agung. (2015). Pusaka Adat Saibatin dan Pepadun. Jakarta: Yayasan Budaya Nusantara.
- Tihang, L. (2018). Cerita Rakyat Lampung: Nilai, Struktur, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak.
- Tihang, M. (2006). Falsafah Hidup dan Sistem Nilai Adat Lampung. Bandar Lampung: Balai Bahasa.
- Wahyuningsih, N. (2022). Pendidikan dan Kearifan Lokal di Sekolah: Studi Kurikulum Muatan Lokal Budaya Lampung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Wibowo, R. (2022). Revitalisasi Tradisi dalam Komunitas Adat di Era Digital. Bandung: Pustaka Ilmu.
- Wulandari, S. (2020). Cerita Rakyat dan Kearifan Lokal Lampung. Metro: Penerbit Lembah.
- Zainal Abidin, M. (2007). Filosofi Adat Istiadat Lampung. Bandar Lampung: Pustaka Lampung.
- Zuhdi, Ahmad. (2011). Bahasa dan Budaya Lampung: Antara Tradisi dan Modernitas. Lampung University Press.
- Zuhdi, S. (2001). Sejarah Sosial Masyarakat Lampung. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Zuriat, M. (2008). Adat dan Budaya Lampung: Sebuah Kajian Etnografi. Bandar Lampung: UBL Press.