Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Naluri kepoku mendadak ngadat ketika melihat Presiden Prabowo dan Megawati Sukarnoputri berjalan berdampingan, ngobrol pelan seperti sedang berbagi rahasia penyakit kulit Mulyono. Di belakang mereka, Wakil Presiden Gibran tampak planga-plongo. Nggak diajak ngobrol, nggak diajak paham. Ia berdiri canggung, terjepit secara simbolis di antara presiden yang berkuasa dan mantan presiden yang masih punya kuasa.
Peristiwa itu sebenarnya sudah terpampang nyata saat peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni lalu. Tapi kenapa sekarang aku baru ngeh? Yah… namanya juga otak lagi macet. Entah karena kurang peka, kurang tidur, atau mungkin kurang vitamin. Tapi tenang, sekarang saatnya kita kupas bareng-bareng. Siapin kopi, dan cemilan cepuluh – karena yang satu ini gurihnya bukan main.
Coba perhatikan di YouTube, apa sebaiknya aku harus senyum, sedih atau ngedumel ketika sejumlah kamera televisi memergoki momen sakral yang bisa disebut sebagai body language diplomacy paling jujur dalam sejarah republik ini. Gibran berjalan di belakang Megawati dan Prabowo. Bukan di samping, bukan juga di antaranya. Tapi di belakang – posisi yang biasanya ditempati para ajudan, tukang angkut tas, atau cucu yang belum sunat.
Netizen – spesies baru yang paling waspada setelah cepu polisi – langsung merapatkan barisan sambil bergumam, “Wah, ini mah udah nggak dianggap lagi, cuy.” Secara moral standing, Gibran katanya sudah jatuh tersungkur di mata rakyat. Secara political standing, malah lebih mirip berdiri di panggung dangdut kampung – rame, tapi nggak penting.
Sungguh tragis. Gibran, bocah yang dulunya suka jajan gulali dan bercita-cita jadi pedagang martabak, lalu mendadak jadi wakil presiden, tapi auranya masih seperti wakil ketua Karang Taruna tingkat RW. Bukan karena jasnya, tapi karena memang dari ekspresi wajahnya kelihatan kayak anak magang yang salah kamar.
Dan kalau mau jujur, secara kapasitas, Gibran ini memang seperti handphone yang masih tipe poliponik, yang sering mengeluarkan suara “tulalit…” dan hanya memiliki random access memory 486 megabyte. Dalam bayangan kita, kalau suatu hari Prabowo lagi pilek berat dan harus istirahat total, lalu Gibran naik jadi Presiden… seluruh rakyat Indonesia otomatis akan berdoa dalam lima agama sekaligus.
Tapi di sinilah letak kejeniusan Prabowo. Ia – dengan kecerdikan ala jenderal veteran – tahu bahwa dengan Gibran di sebelahnya, ia menciptakan tameng politik paling ampuh dalam sejarah demokrasi. “Kalo gue lengser, yang naik si bocah itu lho. Emang rela?”
Boleh dikata, sekarang tak satu pun partai politik atau civil society berani menyentil Prabowo. Bahkan aktivis-aktivis yang dulu galak, kini berubah jadi manut sambil “wait and see”. Mungkin mereka sedang belajar ngaji sabar karena terlalu takut kalau-kalau skenario horor itu terjadi.
Gibran pun kini jadi seperti boneka pajangan di dashboard odong-odong. Dia ada, tapi nggak nentuin arah. Kadang manggut-manggut, kadang kelihatan bengong, entah mikirin negara atau cuma mikir gimana caranya menghindari wartawan dari wawancara doorstop, usai acara.
Tapi jangan salah. Gibran masih punya kekuatan – yakni kemampuan untuk membuat semua orang bisa membuat drama atau berpura-pura nyaman. Bahkan Prabowo pun, sepertinya, kadang-kadang nahan ketawa dalam hati, “Lah, ini bocah kok bisa nyangkut di sini ya?”
Dan begitulah politik Indonesia hari ini. Kita punya presiden yang kuat karena wakilnya terlalu ringan. Ringan ditimbang, ringan diajak mikir, dan ringan untuk dijadikan alasan kenapa semua orang terpaksa diam.
Jadi, mari kita sarapan pagi tanpa beban pikiran. Karena hanya di negeri ini, perjalanan menuju istana bisa dimulai dari bisnis kuliner lalu disponsori algoritma, dan diakhiri dengan jalan di belakang mantan majikan, sambil mikir, “kapan ya persatuan pedagang martabak bisa bikin acara di istana?”
Tetapi meski Gibran terlihat tenang, ternyata badai sudah mulai mengintai dari segala penjuru. Bukan cuma netizen yang mulai gelisah, tapi juga para veteran TNI – mulai dari Kolonel sampai Jenderal bintang empat. Dari mantan ajudan presiden sampai mantan wakil presiden – yang tampaknya sudah cukup minum teh tubruk sambil nonton kelakuan politik generasi sosis.
Para veteran itu tak main-main. Mereka tak lagi sekadar mengumpat di grup WhatsApp. Mereka sudah ngirim surat resmi ke DPR RI. Bukan surat minta proyek, bukan juga undangan walimatussafar Ruben Onsu yang gagal naik haji. Tapi surat serius: permintaan pemakzulan Gibran. Dalam dunia militer, ini semacam “tembak di tempat, tapi via prosedur hukum.”
Dan yang bikin jantung deg-degan, surat itu diterima. Bukan dilempar ke kotak saran, bukan juga dijadikan bungkus nasi uduk. Sekjen DPR RI menerima dengan baik, katanya surat itu akan diteruskan ke pimpinan DPR. Artinya, alarm merah sudah berbunyi. Kalau surat itu sampai dibacakan di Komisi II, apalagi diparipurnakan – maka Gibran bisa saja berubah status dari “Wakil Presiden” menjadi “mantan anak magang negara.”
Ini bukan cuma drama politik. Ini sudah sinetron edisi khusus bertajuk “Kisah Anak Haram Konstitusi.” Gibran, yang dulunya naik karena digendong Paman Gober, kini bisa saja turun karena “digendong” para pensiunan, yang dulu biasa latihan perang beneran, bukan perang di media sosial.
Dan bayangkan ironi besarnya, Prabowo, yang dulu hidup dari loyalitas TNI, kini harus duduk di sebelah bocah yang justru dibidik oleh senior-seniornya sendiri. Kalau Prabowo masih tertawa di tengah semua ini, kita patut curiga, jangan-jangan dia punya rencana cadangan yang lebih epik dari kudeta politik.
Maka, rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia, tim akan menulis sejarah berikutnya dengan subjudul “Dari Jalan di Belakang Mantan Juragan, ke Surat Pemakzulan Para Jenderal.” Semua hanya dalam satu minggu kerja.
Sungguh, ini bukan negara gagal. Ini negara penuh kejutan! (*)
Bandarlampung, 5 Juni 2025
#MakDacokPedom