Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Mahkamah Konstitusi telah bicara. Satu kalimat panjang—tegas, final, dan mengikat: pendidikan dasar gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Bunyinya jelas, seperti lonceng pagi yang membangunkan harapan lama: bahwa semua anak bangsa, tanpa kecuali, berhak belajar tanpa dibebani ongkos. Pendidikan Dasar adalah wajib belajar 9 tahun. SD dan SMP.
Di balik kalimat yang gagah itu, negeri ini tetap berjalan dengan huruf-huruf kecil: pungutan sukarela, iuran bulanan, sumbangan yang dipaksa, seragam wajib tapi tidak atas nama sekolah, tapi komite, kadang juga koperasi sekolah, atau atas nama yang dilogikakan dengan dalih partisipasi.
Maka publik bertanya—dalam diam dan lelah: apakah putusan MK ini titik, atau koma?
Di kota-kota yang katanya beradab. Uang komite masih dikutip. Bupati/walikota, atau pejabat turunannya seperti Dinas Pendidikan tampak pura-pura tidak tahu. Padahal jelas ada pengawas. Jika tak tahu, fungsi pengawasan dipertanyakan. Tidak efektif. Pengawasan tak kerja, tak tahu ada pungutan uang komite?
Bupati/walikota yang konon berjuang membela rakyat, kepala sekolah yang konon pahlawan tanpa tanda jasa, membiarkan ada uang komite. Atau jangan-jangan sumber idenya justru dari sang kepala sekolah?
Jika ada yang bertanya, mereka tak menjawab, karena pura-pura tidak tahu, mereka nyaman bermain di ruang abu-abu. Kalau terpaksa menjawab, kepala sekolah akan bilang; itu urusan komite. Sungguh abu-abu. Ruang di mana logika hukum dan kenyataan saling mencibir.
Jika terus dibiarkan, apa bedanya pungutan oleh negara dan pemerasan oleh sistem? Ini dunia pendidikan. Dunia di mana generasi bangsa digembleng dan tumbuh dari sini.
Oleh karenanya agar jadi baik, agar generasi ke depan punya harapan, jangan biarkan ada benalu hidup pada dunia pendidikan. Bukankah benalu adalah racun bagi generasi?
Jangan ada pungli sekecil apa pun pada dunia pendidikan. Jangan biarkan ada tradisi yang tidak sehat. Jika pendidikan dasar itu hak, orang tua/wali jangan ditagih? Apalagi diminta melalui peserta didik, sangat tidak mendidik.
Soal seragam juga idem. Jika negara wajib membiayai, mengapa seragam masih harus dibeli dari toko yang direkomendasikan sekolah, dengan model yang hanya dijahit oleh tukang jahit yang “kebetulan” satu arus dengan yang berkepentingan? Apa bedanya kebijakan dengan konspirasi, jika hasil akhirnya tetap merugikan rakyat?
Mahkamah telah mengetuk palu. Palu itu harus bergema. Tidak boleh tidak terdengar. Mengikat untuk semua anak bangsa.
Jangan lagi ada tafsir karena belakangan banyak yang lebih suka tafsir daripada aturan. Undang-undang dibaca sesuka selera, bisa dibelokkan untuk kepentingan dagang.
Untuk pendidikan, harus mendidik, memberikan edukasi. Semua harus melaksanakannya. Tafsir gratis jangan digoreng dengan mengatakan hanya untuk yang miskin, tergantung kemampuan sekolah. Jangan lagi beralasan bantuan baru bisa turun kalau memenuhi kriteria.
Amar putusan jelas, negara diwajibkan menjamin. Bukan menimbang. Bukan menawar. Jadi tak ada alasan goreng-menggoreng. Gratis bukan murah. Gratis bukan diskon. Gratis berarti negara hadir.
Dengan begitu anak-anak jangan lagi ada yang membawa beban. Jangan lagi ada anak-anak yang membawa nota pembayaran ini itu dari sekolah.
Bagaimana dengan uang komite yang sudah dibayar? Apakah dikembalikan? Apakah diakui sebagai salah atau kesalahan? Kita tunggu saja. Yang jelas putusan MK harus titik, tidak lagi koma.
Putusan MK jangan lagi dibiarkan menggantung di langit, harus membuni, jatuh ke tanah menjadi realitas. Sebab, pendidikan bukan soal sekolah. Ia harga diri bangsa, tempat masa depan bangsa dipertaruhkan. (*)
Denpasar, 28 Mei 2025