Aguk Irawan MN
Catatan dari Kemp Pengungsian
HATIPENA.COM – Hari ke 5 kami berada di Yordan, area penyaluran logistik berpindah dari sebuah gurun tandus dengan suasana barak di mana-mana, kemudian berganti dengan areal bukit yang tinggi dengan padat penduduk dan lokasi yang sangat kumuh. Kawasan itu bernama Kem Wihdat.
Letak Kem Whidat tidak jauh dari kota Amman Jordania. Kurang lebih 1 jam setengah, jika ditempuh dengan kendaraan roda 4. Wihdat lebih dekat dengan kota Amman lama. Menuju kawaasan ini seperi sedang uji nyali. Jalanan berkelok dan menanjak tajam, curam, masuk gang sempit. Debu sering menyeruak sampai-sampai membuat pemandangan sedikit kabur.
Jika berpapasan dengan salah satu kendaraan, maka harus ada gantian mengalah. Sempat di tengah kawasan kumuh itu ada salah satu mobil macet, untuk memutar balik diperlukan lebih dari 30 menit uji coba, kiri-kanan atret, sampai ada pemuda setempat yang memberi pertolongan. Mungkin karena mereka tahu, di belakang kami ada satu truk mengangkut logistik.
Berdasarkan penuturan warga setempat, Kem Wihdat ini dihuni kurang lebih 900.000 pengungsi Palestina, dengan luas are 4 km persegi. Kawasan ini dibangun pertama kali saat perang Arab-Israil pecah sekitar tahun 1965. Dari jumlah tersebut 48.000 adalah pendatang baru sebagai pengungsi, sejak konflik memanas Oktober 2023, meraka sudah tidak punya tempat tinggal di Nueserat, Gaza Palestina.
“Saat itu hari masih pagi. Saya sedang menikmati secangkir sai (teh) di balkon rumah saya yang menghadap ke jalan. Semuanya normal. Matahari sedikit merangkai naik, tapi dalam sekejap saja semuanya berubah. Bangunan menjadi puing berserakan, mobil banyak terbakar. Pasukan Israel memasuki distrik kami. Pesawat-pesawat tempur melancarkan rentetan serangan brutal, dengan alasan mencari tawanan 4 tentara yang disandera oleh kami.” Kenang Mahdi warga pengungsi di Wihdat dengan berkaca-kaca.
“Tak ada seorang pun dari kami yang mengerti alasan soal tawanan itu. Saat itu semua orang berhamburan dan berlarian tanpa tahu ke mana harus pergi dengan aman. Alhamdulillah wa qadurullah kita sampai ke tempat ini. Di sini kami bertemu banyak orang baik.” Ujar pria paruh baya itu menambahkan.
Kamipun lantas bertanya, “Lusa insyaallah akan Idul Fitri, apakah saudara tidak ingin mengunjungi tanah kelahiran?” Dan dijawabnya “Kami sudah melihat di siaran televisi dan media. Tak ada lagi tempat tinggal di sana. Semuanya tinggal puing-puing berserakan. Termasuk banyak saudara kami yang meregang nyawa menemui takdirnya menjadi syuhada. Alhamdullah Allah memberi kami selamat dan kesempatan hidup.” Tutup Mahdi dengan nada yang pilu.
Selain pengungsi seperti Mahdi, ada juga yang seperti Yahya, pengungsi dari Kota Beit Hanoun di Jalur Gaza yang tinggal sudah lebih lama, nyaris 5 tahun dan sudah menetap di Yordania secara semi-permanen. Jumlah pengungsi ini diperkirakan sekitar 68.000. Saat kondisi aman mereka akan pulang ke Palestina, jika bergejolak mereka akan kembali ke Yordan.
Mayoritas pengungsi Palestina di kawasan Wihdat ini sudah menetap permanen dan mendapatkan nomor registrasi yang diberikan oleh pemerintah Yordania dan dapat digunakan untuk mencari kerja atau untuk membuka warung kelontong misalnya. Sementara sebagian lainnya adalah pengungsi Palestina yang tidak tetap, atau semi permanen, mereka hanya bisa bergantung hidup atas bantuan atau belas kasih orang lain atau NGO negara donasi, di antaranya dari Indonesia dan Yordania.
Secara umum, di Kem Wihdat ini, pengungsi-pengungsi Palestina ini hidupnya sangat sulit, karena meraka tidak bisa bekerja dan hanya bergantung hidup pada donasi atau uluran tangan dermawan, sekalipun sepintas mereka kelihatan nyaman lantaran sudah tinggal di apartemen pemerintah Yordan. Wallahu’alam bishawab. (*)