HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Guru Adalah Pelita, dan PGRI Adalah Rumahnya

July 8, 2025 17:48
IMG-20250708-WA0070

Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd
Guru Informatika SMP Labschool Jakarta, Sekjen IGTIK PGRI, dan Guru Blogger Indonesia


HATIPENA.COM – Beberapa waktu lalu, saya menerima sebuah komentar di WhatsApp dari seseorang yang juga mengaku sebagai guru. Bunyinya tajam dan menusuk:

> “Guru memang pelita. Tapi organisasi guru PGRI-lah yang memadamkannya.”
Saya terdiam sesaat. Bukan karena tersinggung, tapi karena sedih. Mengapa seorang guru bisa begitu membenci organisasi yang seharusnya menjadi wadah perjuangan para pendidik? Mengapa ada api dalam sekam yang membuat sebagian guru merasa asing bahkan marah terhadap rumahnya sendiri?

Saya menulis artikel ini bukan untuk membela buta PGRI, tetapi untuk meluruskan dan membuka ruang dialog agar kita sebagai guru tidak terjebak dalam narasi keliru dan penuh prasangka. Kita adalah pelita, dan PGRI bukanlah pemadamnya—melainkan penjaganya.

PGRI: Dari Sejarah Lahir dalam Perjuangan

Kita tidak boleh lupa bahwa Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) lahir dari rahim perjuangan kemerdekaan bangsa. Dibentuk pada 25 November 1945, hanya tiga bulan setelah proklamasi, PGRI tidak pernah lepas dari semangat membebaskan bangsa ini dari penjajahan, termasuk penjajahan dalam bidang pendidikan.

PGRI lahir bukan sebagai organisasi biasa. Ia menjadi wadah bersatunya para guru yang selama masa kolonial terpecah dalam berbagai organisasi berdasarkan etnis dan daerah. Saat itulah guru-guru di seluruh Indonesia menyatakan: “Kami satu! Kami guru Indonesia!”

Jika hari ini ada yang menyebut PGRI memadamkan pelita guru, maka mungkin ia lupa sejarah. Atau bisa jadi belum pernah menyelami perjuangan PGRI dari masa ke masa.

Tidak Sempurna, Tapi Terus Berbenah

Saya tidak menutup mata. PGRI bukan organisasi yang sempurna. Seperti rumah besar lainnya, pasti ada kekurangan. Ada dinamika internal. Ada kritik, bahkan konflik. Tapi apakah itu membuat kita layak membencinya?

Bukankah lebih baik kita masuk ke dalam rumah itu, membersihkannya bersama, menata ulang ruang-ruangnya, dan menjadikannya rumah yang lebih nyaman untuk semua guru?

Kritik itu penting. Tapi membenci dan menghancurkan bukanlah cara membangun.

Komentar Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, Ketua Umum PB PGRI

Dalam berbagai kesempatan, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, Ketua Umum PB PGRI, selalu menekankan pentingnya keterbukaan dan kolaborasi:

> “PGRI adalah milik semua guru. Jangan hanya menjadi penonton. Jadilah pemain yang terlibat. Kalau ada yang perlu dikritik, mari kita kritisi bersama dengan cara yang membangun.”

> “Kami tidak anti-kritik. Tapi kami berharap semua guru melihat PGRI sebagai wadah perjuangan, bukan sekadar organisasi administratif.”


Suara dari Daerah: Guru Masih Percaya

Berikut beberapa komentar guru dari berbagai daerah yang membuktikan bahwa PGRI tetap menjadi sandaran dan harapan:

Dina Rahmawati, S.Pd – Guru SD di Kulon Progo:

> “Saya pernah kesulitan soal kenaikan pangkat. Justru PGRI cabang yang membantu saya hingga tuntas.”


H. Ridwan, M.Pd – Guru SMA di Banjarmasin:

> “PGRI bukan hanya simbol. Saat kami digugat karena kenaikan tunjangan, PGRI turun langsung dampingi hukum sampai tuntas.”


Maria Yuliana, S.Pd – Guru SMP Katolik di Kupang:

> “Kami minoritas, tapi PGRI tetap menyuarakan hak kami. Mereka hadir di pelosok, bukan cuma di pusat.”


Komentar Saya: Guru Jangan Terpecah

Sebagai guru yang sudah 32 tahun mengabdi, saya, Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay), ingin mengatakan:

> “Kita adalah pelita. Tapi pelita tidak akan menyala lama jika tak dilindungi dari angin. PGRI itu rumah yang melindungi pelita kita. Bukan pemadamnya.”

> “Kalau ada yang tidak puas, mari kita perbaiki bersama. Kita bukan hanya guru untuk murid, tapi juga pembelajar dalam berorganisasi. PGRI adalah milik kita semua, bukan milik segelintir elit.”

Penutup: PGRI, Tempat Kita Bersatu. Kita bisa berbeda pendapat, tapi kita tidak boleh saling menjatuhkan. Guru adalah profesi yang mulia. Tapi jika kita tercerai-berai, siapa yang akan membela kita saat kebijakan tak berpihak?

Jika bukan kita yang menjaga rumah besar ini, siapa lagi?

Maka saya ajak semua guru:

Kritik boleh, benci jangan.
Berpendapat boleh, memfitnah jangan.
Keluar boleh, tapi masuk dan memperbaiki lebih mulia.

Mari rawat kembali pelita guru Indonesia—dengan cinta, semangat, dan kebersamaan dalam rumah besar bernama PGRI.

Salam hormat untuk seluruh guru Indonesia.
Mari tetap menjadi pelita yang menyala, bukan api yang membakar rumah sendiri.

Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah – omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com