Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Haji Alim, Cahaya Keemasan yang Padam di Lorong Gelap

March 12, 2025 13:49
IMG-20250312-WA0090

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Haji Abdul Halim Ali. Nama yang harum. Seharum bunga melati di pagi buta. Sosok legendaris. Pengusaha sukses. Hartawan berbudi luhur. Wong Palembang pasti mengenal sosoknya. Rajin ke masjid membuatnya sering dipanggil H Alim.

Siapakah sebenarnya H Alim ini. Nama lengkapnya, Kemas Haji Abdul Halim Ali. Sekarang sudah 87 tahun. Beliau lahir di Palembang, Sumatera Selatan. Ia Direktur PT Sentosa Mulia Bahagia (SMB). Perusahaan ini bergerak di sektor perkebunan, karet, kelapa sawit, dan pertambangan batubara.

Sejak kecil, hidupnya keras. Bocah 6 tahun yang berjualan kue di pagi hari. Kecil-kecil sudah tahu getirnya hidup. Tak mengeluh. Tak merengek. Ia tempuh badai. Ia arungi gelombang.

Tahun berlalu. Usianya bertambah. Harta bertambah. Perusahaannya menjulang. Sawit, karet, batubara, properti. Semua yang disentuhnya berubah emas. Tak heran, orang-orang menyebutnya Raja Midas dari Palembang.

Informasi spesifik tentang pendidikan formal Haji Alim tidak banyak tersedia. Namun, ia dikenal sebagai sosok yang belajar dari pengalaman dan memiliki kemampuan manajerial yang luar biasa dalam mengelola bisnisnya.

H Alim terkenal sosok yang sangat dermawan. Sumbangan atau kedermawanannya tak terhitung. Masjid berdiri atas namanya. Jemaah haji makan kerupuk di Tanah Suci berkat uluran tangannya.

Pada tahun 2021, ia mewakafkan dana sebesar Rp100 juta kepada Badan Wakaf Indonesia Sumatera Selatan. Ia juga memiliki impian untuk mendirikan gerai makanan khas Palembang di Tanah Suci, seperti kerupuk, yang dapat dinikmati secara gratis oleh para jemaah haji dan umrah.

Keluarganya harmonis. Anak-anaknya sukses. Rumah tangganya tenteram. Ia memiliki beberapa anak yang juga terlibat dalam bisnis keluarga, terutama di sektor perkebunan dan properti. Salah satu anaknya bahkan disebut-sebut sebagai penerus utama dalam mengelola perusahaan PT Sentosa Mulia Bahagia.

Pemimpin negeri mengaguminya. Presiden mampir. Menteri datang. Pejabat duduk bersimpuh di hadapannya, meminta petuah, merapal doa. Semua tahu, Haji Alim bukan sekadar orang kaya. Ia orang bijak. Ia orang suci.

Lalu, langit berubah. Gelap. Kelabu. Petir menyambar. Kejaksaan mengetuk pintu. Surat penahanan terulur. Tuduhan? Korupsi. Pemalsuan dokumen. Mengambil hak yang bukan miliknya. Proyek Tol Betung-Tempino. Tanah negara. Kerugian miliaran.

Haji Alim? Sang legenda? Sang dermawan? Tak mungkin. Tak masuk akal. Tapi, jaksa tak peduli. Bukti berbicara. Hukum menjerat. Dari kursi megah, ia berpindah ke balik jeruji. Dari senyum pejabat, ia kini disorot media dengan tatapan iba.

Dulu dielu-elukan. Kini dihina. Dulu dipuja. Kini dicaci. Dulu raja. Kini pesakitan. Orang-orang mulai berbisik. “Beginilah nasib. Dulu menanam emas, sekarang panen duri.”

Cahaya keemasan itu padam. Di lorong gelap, Haji Alim kini sendiri. Ia tak lagi sang Raja Midas. Ia hanya lelaki uzur, 87 tahun, yang semestinya menimang cucu, bukan borgol di pergelangan tangan. (*)

#camanewak