Ilustrasi: Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani
HATIPENA.COM – Di sebuah kota kecil bernama Cirebon, di mana kabar burung lebih cepat menyebar dari sinyal Wi-Fi, muncul seorang gadis pemberani. Namanya Hanifah. Siswi SMAN 7 Cirebon ini bukan sekadar murid biasa. Dia adalah sosok yang berani melawan arus, menghadapi raksasa korupsi pendidikan, dan membongkar skandal yang bikin seluruh sekolah gemetar ketakutan. Ya, Hanifah adalah pahlawan yang tidak pernah kita minta, tapi sangat kita butuhkan.
Cerita dimulai ketika Hanifah, dengan hati sebesar gunung dan keberanian setara seribu singa, memutuskan untuk speak up. Dia berani mengungkapkan praktik pungutan liar (pungli) di sekolahnya. Bayangkan saja, wak! Seorang siswi kelas XII IPS 1, dengan seragam putih abu-abunya, berdiri tegak di hadapan Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, dan berkata, “Pak, ada yang tidak beres di sini!” Saat itu, langit seakan terbelah, petir menggelegar, dan seluruh ruangan terdiam. Hanifah telah meluncurkan bom verbal yang mengguncang fondasi SMAN 7 Cirebon.
Dia mengungkapkan, sekolahnya memungut SPP sebesar Rp 200 ribu dengan alasan “banyak utang”. Utang apa? Entah. Mungkin utang pembangunan menara Eiffel versi Cirebon. Tapi Hanifah tidak tinggal diam. Dia juga membongkar fakta bahwa dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang seharusnya untuk siswa miskin, justru dipotong Rp 200 ribu. Alasannya? Untuk partai politik. Ya, ente tidak salah dengar. Partai politik! Sekolah ini ternyata bukan cuma tempat belajar, tapi juga markas penggalangan dana kampanye terselubung.
Hanifah, dengan mata tajamnya, berkata, “Kok anak ASN bisa dapat PIP ya?” Pertanyaan itu mengguncang ruangan. Dedi Mulyadi pun tertegun. Hanifah, sang anak pensiunan ASN, ternyata juga penerima PIP. Ini seperti menemukan unicorn di tengah jalan raya, langka, aneh, dan bikin geleng-geleng kepala. Tapi Hanifah tidak peduli. Dia menggunakan uang PIP itu untuk membayar tunggakan SPP dan year book. Ya, uang bantuan untuk siswa miskin dipakai untuk melunasi utang sekolah. Ironi tingkat dewa!
Tapi Hanifah tidak berhenti di situ. Dia juga ikut demo ketika sekolahnya gagal menyelesaikan Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS), yang membuat ratusan siswa terancam gagal ikut Seleksi Penerimaan Berbasis Prestasi (SPMB). Hanifah bilang, “Pihak sekolah baru gerak pas udah viral.” Klasik! Sekolah ini seperti pemadam kebakaran yang baru datang setelah rumah hangus terbakar. Tapi Hanifah? Dia sudah berteriak sejak api masih sebesar korek.
Keberanian Hanifah bukan tanpa alasan. Dia melakukan ini semua demi adik kelasnya. “Kalau saya nggak speak up, kasihan adik kelas saya,” katanya dengan nada penuh kepedulian. Hanifah tahu, jika dia diam, praktik korupsi ini akan terus berlanjut. Dia tidak mau adik-adik kelasnya merasakan ketidakadilan yang sama.
Hanifah adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang bobrok. Dia adalah cahaya di tengah kegelapan, pahlawan tanpa tanda jasa, dan sosok yang membuat kita semua bertanya, “Kenapa saya nggak seberani dia?” Dia membuktikan bahwa satu suara kecil bisa mengguncang dunia. Hanifah? Dia mengguncangnya dengan gaya yang bikin kita semua tepuk tangan.
Untuk Hanifah, sang pembongkar skandal, saya beri standing ovation. Semoga keberanianmu menginspirasi generasi berikutnya. Untuk SMAN 7 Cirebon? Hati-hati, ya. Jangan sampai ada lagi Hanifah-Hanifah lain yang siap membongkar borok kalian. Karena, seperti kata pepatah, “Kebenaran akan selalu terungkap, meski dibungkus rapat sekalipun.” Hanifah adalah pembungkus kebenaran yang paling berani! Semoga ada Hanifah di sekolah lain yang berani speak up juga. Speak up di warkop pun, boleh bersama saya wak. (*)
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar