Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Alhamdulillah bisa damai. Kamboja dan Thailand memilih damai setelah ditraktir teh tarik oleh Anwar Ibrahim. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Putrajaya, 28 Juli 2025. Ketika dua negara tetangga, Thailand dan Kamboja, sibuk berbalas mortir dan nyawa manusia berjatuhan seperti saldo e-wallet habis buat diskon, tiba-tiba muncullah satu sosok. Bukan dari Avengers, bukan juga dari tokoh wayang kulit. Tapi dari negeri jiran, berkain pelikat, berpidato tenang, dan dipercaya semesta, Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia sekaligus Ketua ASEAN tahun ini, yang muncul bak malaikat turun dari awan Cumulonimbus ASEAN.
Semuanya bermula saat bentrokan bersenjata pecah pada 24 Juli 2025 di perbatasan Thailand–Kamboja. Dalam waktu empat hari, 35 orang tewas. Dari pihak Thailand: 22 orang meninggal (14 warga sipil + 8 tentara), 140 luka-luka, dan lebih dari 138.000 warga mengungsi dari delapan distrik perbatasan. Dari pihak Kamboja: 13 orang tewas (5 tentara + 8 warga sipil), lebih dari 35.000 warga mengungsi dari Provinsi Preah Vihear dan sekitarnya.
Kondisi semakin absurd, peluru nyasar ke pasar, anak-anak ketakutan, dan dua negara saling tuding, “Lu yang mulai!” seperti pertengkaran dua bocah rebutan layangan.
Masuklah Anwar Ibrahim, tanpa senjata, tanpa karpet merah, hanya berbekal ketulusan dan peta ASEAN yang lusuh. Pertemuan damai diadakan di Putrajaya, kota diplomasi rasa taman bunga. Anwar pun menelepon dua kepala negara langsung, seperti mau ngundang makan kenduri, “Saya telah berbicara langsung dengan PM Hun Manet dan Plt PM Phumtham, menyerukan agar mereka segera menghentikan konflik dan kembali berdialog.”
Seolah Tuhan berkata, “Oke, Anwar, gua izinin,” maka kedua negara sepakat mengadakan gencatan senjata tanpa syarat, berlaku mulai tengah malam 28 Juli 2025. Benar-benar tanpa syarat! Bahkan tanpa embel-embel “tapi”, “jika”, atau “selama”.
PM Hun Manet menyebut kesepakatan ini sebagai peluang untuk kembali ke kehidupan normal, seakan-akan kemarin cuma salah paham antara dua tetangga yang salah kirim kurir.
Sementara itu, dari kubu Pelaksana Tugas PM Thailand, Phumtham Wechayachai, belum ada pernyataan resmi. Mungkin masih bingung, “Kok bisa damai secepat ini?”
Namun, meski gencatan senjata sudah ditandatangani, baku tembak masih terdengar di beberapa titik. Ini seperti orang yang sudah putus tapi masih kirim story sindiran. Persis.
Anwar Ibrahim, dalam konferensi pers, menyampaikan dengan gaya filsuf berdasi, “Ini adalah langkah awal yang vital menuju de-eskalasi dan pemulihan perdamaian dan keamanan.”
Katanya lagi, “Kami berharap solusi ini menjadi landasan bagi diskusi bilateral agar hubungan kembali normal. Malaysia siap membantu dan memfasilitasi proses ini dalam semangat persatuan ASEAN.”
Ini bukan kata-kata sembarang. Ini kalimat-kalimat yang lahir dari mulut pemimpin yang bukan hanya tahu protokol, tapi juga tahu rasanya jadi manusia.
Sementara Amerika Serikat dan Tiongkok hadir sebagai cameo penting, tidak terlalu banyak bicara, tapi cukup memberikan tekanan moral, seperti tetangga yang cuma nyenggol, “Sudah jangan ributlah, malu sama anak-anak.”
Begitulah, dunia menyaksikan keajaiban kecil dari Putrajaya. Dalam waktu kurang dari seminggu, dari konflik berdarah ke meja perundingan, semua berkat satu orang, Anwar Ibrahim, pahlawan yang tidak memakai jubah, cukup mengenakan niat baik dan pengertian bahwa damai itu bukan slogan, tapi pilihan.
Kalau ada yang bertanya siapa penyelamat Asia Tenggara 2025, jawabannya jelas, bukan Superman, bukan Goku, tapi Anwar Ibrahim.
Pesan moral dari drama diplomatik ini sederhana tapi mendalam, perdamaian tidak lahir dari superioritas senjata, tapi dari keberanian untuk duduk, mendengar, dan memilih akal sehat di atas ego nasionalisme. Di tengah dunia yang gemar membalas serangan dengan serangan, Anwar Ibrahim menunjukkan bahwa satu telepon, satu ruang dialog, dan satu niat baik bisa menyelamatkan puluhan nyawa dan ratusan ribu jiwa dari derita pengungsian. Bahwa di era ledakan informasi dan disinformasi, masih ada kekuatan yang lebih dahsyat dari misil, yaitu niat tulus untuk tidak saling membunuh. (*)
#camanewak