Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Hujan turun nyaris tanpa jeda, angin menderu seperti bisikan para leluhur yang mengingatkan anak-cucunya pada setiap sasih kaulu.
Di Denpasar, di hampir seluruh Bali, hingga Lombok langit seolah tak ingin berhenti menangis. Kesiar-kesior hujan dibarengi angin dingin seakan menghalangi aktivitas keseharian kita.
Tapi tunggu dulu, tampaknya ini bukan sekadar cuaca, ini adalah tanda. Sipte. Tanda bahwa Watu Gunung seminggu lalu telah jatuh ke darat.
Mereka yang paham wariga, yang mengerti putaran waktu dan rahasia langit, tak melihat ini sebagai bencana.
Hujan, petir, banjir, dan angin kencang bukan sekadar amarah alam, melainkan pesan kesuburan, tanda bahwa tanah akan makmur, bahwa kehidupan baru sedang ditanamkan oleh para Hyang Widhi.
Watu Gunung, wuku ke-30 dalam siklus 210 hari, adalah penutup yang kemudian diawali Sinta. Ada legenda yang melekat, ketika ia runtuh, ia membawa perubahan.
Jika jatuh ke laut, matahari akan membakar tanah, kemarau merajai, dan kegersangan menguasai. Tapi kali ini, seminggu lalu, tampaknya ia memilih daratan, membasahi sawah, menyuburkan tanah, dan melimpahkan harapan.
Adakah ini pertanda bagi Bali di masa depan? Entah kebetulan atau pertanda alam, tanggal 20 Februari 2025 nanti, pemimpin baru akan dilantik. Gubernur, bupati, wali kota—mereka yang akan membawa arah perubahan bagi pulau Dewata yang tenget ini, bagi tanah dan segala isinya.
Jika hujan deras yang turun adalah tanda kemakmuran, maka kita berharap semoga pemimpin yang akan datang membawa kesejahteraan, bukan sekadar janji. Sebab Bali bukan hanya untuk hari ini. Ia adalah warisan para leluhur, amanah yang harus dijaga untuk 100 tahun ke depan, untuk sekayang-kayang, untuk selamanya.
Langit masih mendung. Hujan belum juga reda. Tapi di balik semua ini, ada harapan. Ada makna yang lebih dalam dari sekadar air yang jatuh dari langit. Bali sedang dipersiapkan untuk masa depan yang lebih baik. Asalkan manusia yang mengisinya tahu bagaimana berterima kasih, menjaga keseimbangan, menciptakan harmonisasi, menghormati alam, dan tidak merusak warisan yang telah dipasupati di Besakih.
Karena mereka yang berani mengkhianati tanah ini, akan mendapat kutukan dari Bhatara Lelangit.(*)
Denpasar, 11 Februari 2025