HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Hujan di Bali, Panas di Dunia

June 25, 2025 11:20
IMG-20250625-WA0061

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Pagi ini bertepatan dengan tileming sasih Sadha, Denpasar diguyur hujan. Bukan hujan badai, bukan hujan deras yang menggenangi jalan, tapi hujan yang lembut seperti bisikan.

Katanya ini kemarau basah—musim yang seharusnya kering tapi memilih membawa sejuk. Udara jadi adem, segar, menyenangkan.

Seolah Bali sedang menenangkan dirinya sendiri sebelum dunia kembali gaduh.

Tak heran banyak yang jatuh cinta pada Bali. Wisatawan asing dan domestik datang dan datang lagi. Bukan karena gedung pencakar langit, bukan karena kilang minyak, tetapi karena hujan yang membasahi bunga jepun di halaman depan, karena embun yang menetap di dedaunan, karena senyum tulus ibu-ibu yang meletakkan sesajen, dan aroma dupa yang menjalin doa dengan udara.

Terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Maha Segala, yang di Bali selalu ditemui dalam wujud yang sederhana—dalam canang, dalam harum dupa yang membawa ingatan pulang ke langit.

Di sinilah Bali menunjukkan dirinya sebagai pulau para dewata: bukan karena istana, tetapi karena rasa syukur yang tak pernah luntur.

Bali tak hanya menyenangkan rasa. Ia juga membahagiakan batin.

Siapa pun yang datang tak pernah benar-benar pergi. Mereka pulang ke negeri masing-masing tapi hatinya tertinggal di Bali. Mereka rindu, lalu kembali.

Pagi yang damai di Bali ini sekarang sedang berdiri di atas dunia yang panas dan gelisah.

Saat menenggak secangkir kopi yang hangat pagi ini, saat tetesan hujan menyirami bunga jepun, tiba-tiba bayangan lain menampakkan diri: panasnya Iran, hiruk-pikuk di Israel dan Palestina, dentuman senjata di negeri-negeri yang mengadu mesin perang.

Apakah panas itu akan menjalar? Akankah dunia yang bertengkar membakar dalam ketakutan yang sama?

Perang bukan sekadar soal peluru nyasar, misiu meluncur, atau atap yang roboh karena ledakan.

Lebih menakutkan dari itu adalah sepinya langit Bali, ketika pesawat-pesawat dari Amerika, Rusia, India, dan Australia tak lagi datang membawa tamu yang ingin damai.

Ketika imbauan bepergian lebih keras dari ajakan liburan. Ini sangat mengerikan.

Bali tak punya tambang. Tak punya pabrik besar. Tak ada cerobong asap yang menodai langit. Yang ada hanya senyum, tenun endek, dan napas kesunyian.

Industri Bali adalah industri damai—dan bila damai pergi, Bali kehilangan segalanya.

Covid-19 pernah memberi pelajaran. Jalanan lengang. Hotel-hotel sunyi. Pura dan tempat persembahyangan penuh doa tapi kantong-kantong kosong.

Bali telanjur padat—lebih dari 4,4 juta jiwa tinggal di sini, belum termasuk pendatang. Jika perang dunia ketiga benar terjadi, apakah Bali siap berdiri sendiri?

Siapa yang menanam padi? Siapa yang memelihara sayur? Siapa yang memastikan hidup tetap berjalan ketika langit tidak lagi membawa wisatawan? Ketika segala logistik sulit didatangkan?

Inilah paradoks Bali: pulau yang paling dicintai karena kedamaiannya, justru paling rapuh bila dunia membenci kedamaian.

Maka, jagalah Bali. Jangan biarkan alih fungsi lahan menjadi alasan untuk lapar di masa depan. Jangan biarkan tanah Bali dijual murah hanya demi kenyamanan sesaat. Jangan biarkan sawah berubah jadi semen, karena nanti, kita akan kelaparan di tanah yang subur.

Bali bukan sekadar tujuan wisata. Ia adalah harapan bahwa dunia ini masih punya ruang untuk tenang. Jangan biarkan harapan itu ikut hilang. (*)

Denpasar, 25 – 6 – 25