Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Hukum dan Suara Nurani

January 1, 2025 15:40
Ilustrasi: Pixabay/ Hatipena
Ilustrasi: Pixabay/ Hatipena

Ruang Hukum “Catuih Ambuih”

Bagindo Ishak

KEADILAN tidak sekadar berakar pada undang-undang tertulis, tetapi juga pada ratio universalis, common sense, kepantasan, dan akal sehat yang menjadi landasan harmoni dalam kehidupan manusia.

Dalam legal listening—proses mendengarkan secara bijak dan empatik—pengadilan memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat, bahkan oleh mereka yang tidak memahami kompleksitas hukum.

Ratio universalis memberi arah bahwa hukum adalah manifestasi dari nalar universal yang menghubungkan manusia dengan nilai-nilai kebenaran yang berlaku di semesta ini.

Namun, hukum tanpa akal sehat adalah seperti perahu tanpa kemudi; ia mungkin berjalan, tetapi tak tahu arah.

Kepantasan dan common sense adalah penyeimbang, memastikan bahwa keputusan tidak hanya memenuhi syarat formal, tetapi juga masuk akal dan diterima oleh nurani kolektif masyarakat.

Bagi masyarakat awam, hukum sering terlihat seperti “bahasa asing” yang sulit dimengerti. Oleh karena itu, keadilan harus diterjemahkan dalam bentuk yang sederhana, berimbang, dan dapat dirasakan manfaatnya.

Seorang hakim, dalam tugasnya, tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga membaca kehidupan—mendengar suara yang tidak terucap, melihat kepedihan yang tidak terlihat, dan memberikan keputusan yang tidak hanya benar, tetapi juga pantas dan bermartabat.

Keadilan sejati adalah ketika hukum menyentuh nurani, ketika masyarakat yang tidak mengerti hukum pun merasa dilibatkan dan dihormati. Dengan begitu, keadilan tidak lagi menjadi “menara gading” yang jauh dari jangkauan, melainkan hadir sebagai cahaya yang membimbing semua lapisan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Padang, 12 Desember 2024

(Terinspirasi dari dialog mantan Hakim Agung; Artidjo Alkostar)