HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Ijazah Jokowi, Produk Mesin Ketik atau Microsoft Word?

September 24, 2025 10:22
IMG-20250924-WA0018

TEKA TEKI IJAZAH JOKOWI (4)

Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Membaca ulasan analisis OCR (Optical Character Recognition) ini rasanya seperti mengikuti kuliah tipografi, tapi di ruang kelas dengan dosen yang nyeleneh. Bedanya, jika mahasiswa asik membedakan huruf Times New Roman dengan Arial, para pakar forensik ini justru sibuk membedakan mana yang huruf hasil mesin ketik jadul dan mana yang hasil ketikan modern. Sepertinya, ini bukan lagi masalah ijazah atau skripsi, melainkan soal mana yang lebih canggih, apakah mesin ketik tua atau softwere Microsoft Word.

Temuan awalnya, dokumen ijazah milik Jokowi hurufnya “proporsional”, sedangkan dokumen ijazah milik Budi Darminto – yang mengaku teman kuliah Jokowi – “monospasi”. Bagi orang kebanyakan, ini kedengarannya ribet, tapi gampangnya begini: ijazah yang satu hurufnya seperti rapat-renggang sesuai bentuk, sedangkan yang satunya lagi jaraknya agak kaku, seperti anak kos yang hanya bisa sarapan mie instan tiap pagi – serba rata, serba sama.

Istilah bahasa gaulnya, dokumen ijazah Jokowi itu seperti ketikan rental komputer: hurufnya seperti saling mengerti ruang pribadi, rapi dan manis. Sedangkan dokumen ijazah Budi Darminto seperti ketikan mesin ketik, yang semua hurufnya seragam, tak kenal toleransi, seperti barisan pasukan upacara 17 Agustusan, yang lurusnya bikin leher kaku.

Nah, di sinilah kemudian muncul istilah baru, yaitu Tipografi Forensik. Kalau selama ini orang kenal dengan istilah “sidik jari”, sekarang ada istilah “sidik huruf”. Polisi bukan hanya bisa bilang, “Ini jejaknya kaki tersangka,” tapi juga bisa ngomong, “Jarak hurufnya ini terlalu proporsional, bisa dipastikan ini hasil Word 2003.”

Lebih lucu lagi, ulasan analisis difference map SIFT ini menunjukkan adanya kemiripan huruf antardokumen hingga 90,57 persen. Angka itu seperti jawaban ujian semester yang mirip dengan jawaban teman sebelahnya. Jadi jika ada dua atau lebih dokumen yang katanya beda alat mesin, tapi hurufnya sangat mirip, berarti perlu dicurigai ada yang copy paste file template.

Bayangkan saja, titik di huruf “i” juga diperiksa! Bukan cuma itu, bentuk counter space – seperti rongga di huruf o, a, dan e – juga diteliti untuk jadi bahan bukti. Seperti orang lagi pacaran yang nggak cuma ingat tanggal jadian, tapi juga waktunya: detik, menit, dan jam pertama kali bilang, “I love you”.

Dan yang bikin ngakak, ciri khas dari mesin ketik malah tidak kelihatan sama sekali: tidak ada huruf yang agak miring dikit, nggak ada tintanya yang agak tebal atau tipis, dan nggak ada juga bekas seperti tekanan cetak. Padahal, mesin ketik itu seperti manusia juga – ada aja khilafnya. Jika hurufnya menjadi terlalu sempurna, ini bisa dipastikan hasil kerja printer.

Di sini saja bisa disimpulkan, bahwa dokumen ijazah itu sepertinya lebih mirip hasil “Ctrl+C, Ctrl+V” daripada hasil “ketik-tik-tik-tik mesin tik.” Kalau jaman dulu orang minta lembaran bukti sah harus pakai materai Rp6.000, sekarang cuma butuh screenshot dari Microsoft Word untuk jadi barang bukti.

Dari perspektif rakyat kebanyakan, masalah ini sepertinya sederhana. Kalau hurufnya kelihatan lurus, kinclong, dan konsisten, berarti ini bukan buatan mesin ketik, melainkan mesin modern. Jadi kalau ada yang bilang itu hasil kerjaan mesin ketik, kemungkinan mesin ketiknya sudah di-upgrade Windows.

Maka sekarang muncullah istilah baru ala peneliti: Forensik Kerning Nasional. Kerjaannya bukan lagi mencari pelaku korupsi, melainkan menghitung jarak antarhuruf. Tak ada yang menyangka, ternyata masa depan demokrasi kita bisa juga ditentukan oleh jarak spasi antara “Y” dan “K”.

Temuan antialiasing ternyata juga menarik. Bagi yang tidak mengerti, antialiasing itu seperti bedak pelapis yang tipis di wajah, yang membuat huruf kelihatan lembut, halus, tanpa gerigi. Pasalnya, mesin ketik jadul itu tidak memiliki fitur make up. Jadi jika ada huruf yang pakai “bedak digital”, sudah pasti ketahuan bohongnya.

Dengan kata lain, kalau skripsi yang katanya hasil kerja mesin ketik jadul tetapi tampil kinclong, mulus dan rapi bak produk desain grafis. Mirip orang yang mengaku makan di warteg, tapi update di Instagramnya dia lagi makan di restoran Padang.

Dari segi hukum, sebenarnya analisis ini bisa untuk senjata pamungkas. Bayangkan saja, pengadilan saat mendengar keterangan saksi ahli bersumpah,“Pak hakim yang mulia, huruf yang ada di skripsi terdakwa itu terlalu proporsional. Ini jelas bukan buatan mesin ketik. Ini buatan mesin ‘tik-tok’.”

Pada tahap ini, publik sudah terlalu kenyang dengan suguhan drama politik. Tapi berkat adanya analisis tipografi, rakyat jadi mendapat bonus kuliah gratisan tentang spacing, font, dan antialiasing. Tanpa disadari, bangsa ini sudah naik level seperti ahli desain grafis.

Jadi, jika memang benar dokumen ijazah itu hasil Word, maka Joko Widodo bisa disebut sebagai alumnus Universitas Microsoft Office, program studi Word Processor, dengan minor PowerPoint. Tapi gelarnya bukan Doktorandus atau Insinyur Kehutanan melainkan Sarjana Word atau S.Wd. Jelas ini lebih bergengsi dari UPP – Universitas Pojok Pramuka. (*)

Bandar Lampung, 24 September 2025

#MakDacokPedom