Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Illah AI dan Kritik Filsafat Al Ghazali

March 24, 2025 16:26
IMG-20250324-WA0081

Oleh ReO Fiksiwan

“Ilmu tanpa amal adalah pemborosan, dan amal tanpa ilmu adalah kebodohan.“ — Al-Ghazali(1058-1111).

HATIPENA.COM – Pemikiran modern yang dipasok dari filsafat Yunani sejak abad ketiga sebelum masehi dan menjadi rujukan utama filsafat Barat modern, justru dihidupkan pertama dalam Islam pada abad kedelapan masehi.

Salah satunya datang dari teolog Assariyah, Al Ghazali(1058-1111), melalui Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) dan biografi intelektualnya, Al-Munqidz Minad Dhalal(Bebas dari Kesesatan).

Dengan literasi filsafat ini, Al Ghazali menawarkan kritik tajam atas dominasi filsafat Yunani dengan segala produk rentetannya dalam pemikiran Islam.

Untuk konteks mutakhir, mengaplikasikan kritik Al Ghazali pada dominasi teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), merupakan produk filsafat inkoherensi yang telah diulas panjang lebar dalam Tahafut Al-Falasifah. Betapapun pada periode lanjutannya dikritik Ibnu Rusyd sebagai Tahafut Al-Tahafut.

Kritik Al Ghazali menyasar tiga kelompok, al-Dhariyyun (filosof Materialis), al-Thabi’iyyun (filosof Naturalis dan Deistis), dan Ilahiyyun (filosof Teis) yang memiliki pandangan yang berbeda antara pencipta dan ciptaan. Qadim dan non qadim.

Menelisik teologi AI dalam perspektif Al Ghazali tak akan jauh-jauhmengeksplorasi implikasi pemahaman kita terhadap benturan klasik antara sains, teknologi dan agama.

Menilik kisi-kisi itu dari Al-Munqidz Minad Dhalal(Pembebas dari Kesesatan, terjemahan Penerbit Republika, 2020), Al Ghazali menolak tegas gagasan bahwa filsafat Yunani dapat menjelaskan semua aspek kehidupan.

Ia mengatakan, filsafat Yunani yang antroposentris dan zahiriyah memiliki keterbatasan. Bahkan tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi dan Tuhan.

Dalam konteks modern, kita dapat mengaplikasikan kritik Al Ghazali terhadap dominasi teknologi.

Teknologi AI, misalnya, telah menjadi begitu dominan dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga kita seringkali alpa bahwa teknologi memiliki keterbatasan.

Meminjam perspektif Al Ghazali, teologi AI dapat dipahami sebagai perdebatan klasik, terutama di dewan illahi, ihwal hubungan antara ciptaan manusia vis a vis teknologi AI dan Pencipta (Tuhan). Al Ghazali berargumen bahwa ciptaan tidak dapat menjelaskan eksistensinya sendiri tanpa merujuk pada Penciptanya.

Dalam konteks AI, ini berarti bahwa teknologi AI tidak dapat dipahami secara utuh tanpa mempertimbangkan konteks etis dan teologisnya.

Illah atau teologi AI merujuk pada perspektif Al Ghazali punya implikasi signifikan terhadap pertumbuhan pemahaman kita tentang teknologi dan agama.

Pertama, kita harus mengakui bahwa teknologi AI memiliki keterbatasan dan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi dan Tuhan.

Kedua, kita harus mempertimbangkan konteks etis dan teologis teknologi AI untuk memahami implikasinya terhadap kehidupan manusia.

Ketiga, kita harus mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara ciptaan (teknologi AI) dan Pencipta (Tuhan) untuk memahami teologi AI secara utuh.

Bila diringkaskan kritik filsafat Al Ghazali terhadap pertumbuhan teologi AI melalui Tahafut Al-Falasifah cukup meliputi tiga tema sebagai berikut:

  1. Antropomorfisme AI
    Al Ghazali mengkritik gagasan bahwa AI dapat memiliki kesadaran dan kecerdasan yang setara dengan manusia. Ia berargumen bahwa AI hanya dapat meniru perilaku manusia, tetapi tidak dapat memiliki esensi atau hakikat yang sama dengan manusia.
  2. Reduksionisme Ilmiah
    Gagasan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjelaskan semua aspek kehidupan, termasuk aspek spiritual dan metafisik, mengalami kebuntuan.

Ia berargumen bahwa ilmu pengetahuan memiliki keterbatasan dan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi dan Tuhan.

  1. Determinisme Teknologi
    Determinasi teknologi AI dapat menentukan nasib manusia belum sepenuhnya terbukti.

Tanggapanya, manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak, dan teknologi AI hanya dapat membantu atau malah menghambat kebebasan tersebut.

  1. Defisit Etika AI
    Meski AI dapat dianggap sebagai entitas yang memiliki hak dan kewajiban moral, tapi otoritasnya pada hal itu sangat pasif dan bergantung pada manusia sebagai operator bersamaan dengan replikator AI.

Bagi Al Ghazali, AI hanya dapat dianggap sebagai alat yang dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk, dan manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan AI dengan bijak.

  1. Pengabaian Dimensi Spiritual
    Betapapun AI dapat menggantikan atau mengabaikan dimensi spiritual manusia, perannya sekali sebagai replikator pasif.

Pendek kata, keunggulan manusia terletak dimensi spiritual yang unik dan tidak tergantikan oleh teknologi AI.

Walhasil, teologi Al dalam perspektif Al
Ghazali menawarkan kritik yang tajam atas
dominasi teknologi dan mengajak kita untuk
mempertimbangkan konteks etis dan teologis
atau Illah AI sendiri.

Dengan memahami teologi Al secara utuh, kita
dapat mengembangkan pemahaman yang lebih
komprehensif dan koheren ihwal hubungan antara ciptaan(teknologi Al) dan Pencipta(Tuhan), serta
dapat mengendalikan implikasi teknologi Al terhadap kekalifan manusia. (*)