HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Iman yang Bergerak: Ketika Doa Tak Lagi Cukup

September 12, 2025 20:30
IMG-20250912-WA0082

Oleh: Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd.
Kasi PAPKI Kantor Kemenag Kabupaten Tanggamus

HATIPENA.COM – Setiap bencana selalu menyisakan luka, sekaligus mengetuk kesadaran kita tentang makna iman. Iman sejati tidak berhenti pada doa dan kepasrahan, melainkan juga menggerakkan langkah untuk menjaga bumi, menolong sesama, dan memperbaiki keadaan. Di sinilah kita diuji: apakah iman hanya menjadi kata-kata di bibir, atau benar-benar hidup dalam tindakan nyata.

Pekan ini, kita kembali berduka. Banjir bandang melanda Bali dan Nusa Tenggara Timur. Reuters (2025) mencatat sedikitnya 14 orang meninggal dunia dan dua masih hilang. Mongabay Indonesia (2025) menulis bahwa Denpasar, Badung, dan Gianyar lumpuh akibat sungai meluap, pasar tradisional tergenang, hingga rumah-rumah ambruk. Peristiwa ini kembali menampar kesadaran kita: doa saja tidak cukup bila tanpa tindakan nyata.

Sering kali, setiap kali bencana terjadi, kita menghibur diri dengan kalimat, “Ini ujian dari Allah,” atau “Sudah takdir.” Kalimat itu memang menenangkan. Namun, bila dijadikan tameng, ia justru bisa melumpuhkan nalar dan melemahkan ikhtiar.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga 23 Juni 2025 sudah terjadi 1.713 bencana di Indonesia. Sebanyak 92 persen di antaranya berupa bencana hidrometeorologi basah—seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor (ANTARA, 2025). Catatan ini bukan angka mati. Dari banjir besar Jakarta pada Maret 2025 hingga banjir Bali dan NTT pekan ini, semuanya adalah bukti betapa rapuhnya kita bila abai menjaga keseimbangan alam.

Kita tahu, tidak semua bencana turun begitu saja dari langit. Banyak yang lahir dari kelalaian manusia: hutan digunduli, drainase tak terurus, sungai dipersempit, pembangunan dibiarkan masuk ke zona rawan bencana. Semua itu bukan takdir Tuhan, melainkan buah dari keserakahan dan kecerobohan kita sendiri.

Haidar Bagir dalam Islam Tuhan, Islam Manusia (2017) menekankan pentingnya iman yang aktif; manusia tidak cukup hanya menerima takdir, tetapi juga bertanggung jawab menafsirkan agama agar relevan dengan kondisi nyata. Pandangan serupa datang dari Hasan Hanafi dalam Teologi Pembebasan (1995), yang menolak iman yang berhenti pada spiritualitas individual. Baginya, iman sejati harus mendorong aksi sosial: membebaskan manusia dari ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan.

Kedua pemikir ini sepakat: doa tidak boleh berhenti di bibir. Ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi). Pesannya jelas: usaha adalah bagian dari ibadah, bukan lawan dari tawakal.

Karena itu, kita butuh cara pandang baru dalam menghadapi bencana. Bukan sekadar menganggapnya kutukan atau hukuman, melainkan panggilan untuk berubah. Kita harus menghidupkan “teologi harapan”: iman yang aktif, iman yang merawat bumi. Mimbar masjid, ruang kelas, hingga majelis taklim perlu menjadi ruang edukasi ekologis. Menjaga lingkungan adalah bagian dari menjaga amanah Tuhan.

Organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI punya peran besar. Umat tidak cukup diajak bersabar saat bencana datang. Mereka juga harus dibimbing untuk mencegahnya: menanam pohon, merawat drainase, melindungi kawasan resapan, hingga mendorong kebijakan pembangunan yang berpihak pada kelestarian alam. Semua itu adalah wujud iman yang bergerak.

Doa dan usaha bukanlah dua kutub yang berseberangan. Berdoa tanpa usaha adalah kemalasan, sedangkan usaha tanpa doa adalah kesombongan. Di antara keduanya, ada jalan tengah: iman yang bergerak.

Banjir Bali dan NTT adalah panggilan keras bagi kita semua. Jika kita tidak belajar dari peristiwa ini, berarti kita sedang menyiapkan bencana berikutnya. Pada akhirnya, bukan takdir yang menghancurkan kita—melainkan kelalaian kita sendiri. Sebab Tuhan tak pernah menutup pintu harapan, selama kita mau melangkah. (*)