Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Hari minggu asyiknya ngomongin olahraga. Bulutangkis, olahraga yang sering mengharumkan nama negeri ini di dunia internasional. Itu dulu. Belakangan, semakin ke sini, selalu berita nestapa yang menyapa. Ada apa dengan bulutangkis kita? Usai jogging di water front Pontianak, mari kita dalami masalah ini sambil seruput kopi, wak!
Thailand Open, zonk. Begitu juga Malaysia Masters 2025, tak satupun wakil kita di final. Apriyani Rahayu dan Febi Setianingrum, wakil kita tersisa, harus tersungkur di tangan Liu Sheng Shu dan Tan Ning dari China di semifinal. Laga ini berlangsung sengit, katanya. Tapi, skor dan hasil akhirnya membuat kita sadar, sengit itu kadang hanya ilusi, seperti cinta yang bertepuk sebelah raket.
China, negeri berpopulasi miliaran itu, kini juga tampaknya berpopulasi miliaran pemenang. Mereka mendominasi final di sektor tunggal putra, tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran. Sementara Malaysia, negara tetangga yang biasanya kita ejek sebagai junior di dunia bulutangkis, dengan manis dan penuh sopan santun malah menggelar final ganda putra antar sesama warga sendiri. All Malaysian final di tangan Herry IP alias Naga Api. Kita? Kita hadir sebagai penonton berprestasi, prestasi menonton, maksudnya.
Sementara itu, dari balik layar, para pengamat bulutangkis mengeluarkan analisis dengan nada yang seolah-olah baru ditemukan setelah puasa bicara sepuluh tahun. Katanya ini tanda kemunduran. Katanya harus evaluasi sistem pembinaan. Katanya regenerasi tak berjalan. Katanya strategi sudah usang, seperti raket karatan yang dipaksa smash shuttlecock dari titanium. Ya, katanya-katanya itu sudah lebih sering muncul dari medali emas belakangan ini.
PBSI, kini lebih mirip customer service keluhan fans. “Akan kami evaluasi.” “Kami akan perbaiki.” “Kami akan melakukan pendekatan menyeluruh.” Kalimat-kalimat ini berulang tiap tahun, seperti mantra yang tidak manjur karena dibaca tanpa niat. Ini bukan evaluasi, ini déjà vu!
Belum cukup luka, datanglah pengumuman bahwa Jonatan Christie dan Chico Aura Dwi Wardoyo mundur dari pelatnas. Dua ikon tunggal putra kita memutuskan menempuh jalan ninja sebagai atlet profesional. Jojo, sang darling netizen yang sudah 12 tahun berkeringat di Cipayung, memilih fleksibilitas dan waktu bersama keluarga. Chico? Ia katanya ingin mengejar petualangan baru, seolah bulutangkis kita adalah kapal karam yang lebih baik ditinggalkan. Tapi jangan salah, mereka belum pensiun. Mereka masih ingin bertanding membawa nama Indonesia, hanya saja tak lagi dalam sistem yang katanya penuh keterbatasan. Di balik keputusan itu, ada isyarat sunyi bahwa mungkin mereka pun sudah lelah berharap dari sistem yang katanya terus diperbaiki tapi tetap bocor di mana-mana.
Sedikit review saat Thailand Open 2025. Dua wakil terakhir kita, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dan Amri Syahnawi/Nita Violina Marwah, kandas di semifinal. Fajar/Rian dihantam Denmark, negeri Viking modern yang kini juga jago men-smash mimpi Indonesia. Amri/Nita disalip China, lagi. Skor? Tak perlu dihafal, cukup tahu itu menyakitkan.
Kita, bangsa yang pernah merajai bulutangkis dunia, kini menatap podium dari kejauhan, seperti mantan juara yang diundang cuma buat tepuk tangan. Di balik shuttlecock yang melambung itu, ada beban sejarah, harapan, dan kekecewaan berjuta penggemar. Ini bukan sekadar kekalahan. Ini adalah epos kemunduran yang butuh lebih dari sekadar evaluasi. Kita butuh kebangkitan, atau setidaknya, keberanian untuk mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.
Tapi tak apa. Kita tetap akan menonton. Tetap mencintai. Tetap menulis puisi dari reruntuhan smash. Karena inilah cinta sejati, yang bertahan bahkan saat raket sudah tak berdaya dan skor menyakitkan.
Foto Ai hanya ilustrasi dan pemanis saja. (*)
#camanewak