Oleh Agung Marsudi
HATIPENA.COM – Dibanding propaganda “Indonesia Gelap”, sebelum Indonesia Terang, dan Indonesia Emas, saya memilih kata yang paling disukai kaum Hawa, bebas usia, yaitu “glowing”. Sebab kini produk-produk “glowing” lagi “booming”.
Glowing lebih dari sekadar terang, ia cerah, cetar, berkilau.
Meski terasa, program efisiensi yang dilakukan pemerintah misalnya, kini mirip telpon genggam yang sedang diatur “mode gelap” karena batereinya mau habis.
Propaganda sosial yang kini berseliweran dengan diksi gelap, penanda ada kelompok yang memang sengaja menggunakan “gelap” sebagai tools politik. Meminjam istilah geopolitik, isu, tema, skema. Targetnya mudah dibaca, seperti nonton film India.
Siapa, di mana, bagaimana, dapat apa, berapa, semua sudah diangkakan (dipetabutakan). Pemerintahan Prabowo, mirip plot lakon wayang kulit. Ketika Petruk dadi ratu, tak ada yang bisa mengalahkan. Kecuali Bagong.
Sayang, di pidato politiknya, Bagong justru dengan bangga meneriakkan yel, “Hidup Petruk!” Bukan “Hidup Rakyat!”.
Jargon timbul tenggelam bersama rakyat, tersangkut di pagar laut. Justru di laut kita menang, “Jales Veva Jaya Mahe” digoyang “Satyam Eva Jayate”.
Tapi, usai melihat berita demo dan mendengar narasi-narasi tendesius, melodius di televisi, untuk meramaikan gejolak di kubu “Satyam Eva Jayate”, saya menirukan tembang jaman doeloe, “Pak Pung Pak Mustape!”
Lalu bus, “Trans Jogya” bergambar kartun punakawan yang glowing berhenti di jalan Kaliurang, menaikkan penumpang. Tapi tak satupun yang terdengar menirukan teriakan, “Hidup Petruk!”
Sebab Semar selalu mengingatkan, anak-anaknya untuk selalu meneriakkan, “Hiduplah Indonesia Raya!”.
(Bukan yang lain).
Yogya, 22 Maret 2025