Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Negeri ini penuh paradoks. Makin bersih-bersih, boroknya makin menganga.
Ibarat mengorek luka lama, nanahnya malah meluber ke mana-mana. Mereka yang berseru “Bersihkan negeri dari maling!” justru jadi maling.
Korupsi bukan lagi soal miliaran, bukan juga ratusan miliar. Kini angkanya melambung ke triliunan, ratusan triliun.
Coba bayangkan, uang Rp300 triliun dalam pecahan Rp100.000,- berapa gudang yang dibutuhkan untuk menampungnya? Apalagi pecahan Rp50.000,- atau Rp10.000,-. Mungkin bukan lagi gudang, Pulau Nusa Penida itu penuh tumpukan uang.
Dan ironinya, negeri ini negeri yang santun, taat beragama. Kitab-kitab suci diajarkan sejak dini: jangan mencuri, jangan berbohong, jangan berbuat zalim. Tapi, lihatlah, para maling itu justru terlihat agamis, berdasi, berbicara manis di podium, berpidato tentang moral, sambil tangannya mengeruk uang rakyat.
Lihatlah kasus terbaru: salah satu anak perusahaan Pertamina, dugaan kerugian negara Rp193 triliun. Sebelumnya, korupsi timah, Rp300 triliun lenyap. BLBI? Rp138 triliun raib. Duta Palma, perkebunan sawit, Rp86 triliun melayang. Penjualan kondensat PT TPPI, Rp38 triliun tak bersisa. Jiwasraya, Asabri, Bank Century, proyek BTS 4G, Hambalang, e-KTP, izin sawit, pengadaan pesawat Garuda—jumlahnya jika diakumulasi, bisa membeli sejumlah pulau.
Dan rakyat? Masih berdesak-desakan di sudut jalan, menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Antre LPG 3 Kg. Para petani masih menengadah ke langit berharap panennya tak gagal. Anak-anak di pelosok negeri masih belajar di bawah atap bocor, bangku reyot, guru-guru bergaji seadanya, tak ada lagi antre gas untuk masak.
Jika uang yang dimaling itu dikembalikan untuk rakyat, mungkin tak ada lagi yang kelaparan, tak ada lagi yang putus sekolah, tak ada lagi rumah-rumah reyot yang nyaris rubuh.
Tapi itulah dunia paradoks—di negeri yang katanya menjunjung tinggi moral dan keadilan, justru ketidakadilan merajalela. Justru koruptor sangat dihormati.
Dan kita? Hanya bisa mengelus dada, bertanya-tanya: kapan semua ini berakhir? (*)
Denpasar, 28 Februari 2025