Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Isra Mi’raj yang Menakjubkan

January 27, 2025 17:55
IMG-20250127-WA0083

Oleh: Sadri Ondang Jaya

HATIPENA.COM – Malam itu, langit Makkah terhampar dalam diam yang penuh makna, seolah-olah samudra yang tak bergerak, sementara bintang-bintang tersebar memancarkan cahaya lembut, menyembunyikan ribuan rahasia alam semesta.

Angin malam berbisik pelan, membawa kesejukan yang menenangkan hati, menyelimuti dunia yang terhenti sejenak, seakan-akan menunggu takdir yang akan mengubah segalanya.

Di dalam rumah Nabi Muhammad saw., keheningan malam terasa begitu pekat. Hati beliau, yang pernah dipenuhi kebahagiaan, kini terasa hampa. Kepergian Khadijah, sang istri tercinta, meninggalkan kekosongan yang tak terisi. Abu Thalib, paman yang senantiasa menjaga beliau, kini telah berpulang, dijemput oleh takdir Ilahi. Ujian demi ujian datang silih berganti, tetapi semangat beliau tetap menyala seperti cahaya yang tak pernah padam meski diterpa badai kehidupan.

Malam itu, dalam keheningan yang mendalam, sebuah panggilan datang tanpa suara, hanya kehadiran yang mengguncang seluruh alam semesta. Sebuah perjalanan yang tak terungkapkan dengan kata-kata, melampaui batas dunia yang kita kenal: Isra Mi’raj.

Secepat kilat, Nabi Muhammad saw. merasakan dirinya dibawa melewati dimensi waktu dan ruang yang tak terjangkau oleh indera manusia. Masjidil Haram, tempat beliau berdakwah, perlahan menjauh, digantikan oleh Masjidil Aksa di tanah penuh berkah. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah perjalanan ruhani yang menembus lapisan alam yang tak terlihat oleh mata biasa.

Di sepanjang perjalanan itu, Nabi Muhammad saw. diperlihatkan berbagai peristiwa yang sarat dengan pesan mendalam. Salah satunya adalah kaum yang menuai hasil berkali-kali lipat dalam sehari. Sebuah gambaran tentang keberkahan amal para pejuang di jalan Allah dan dermawan yang gemar bersedekah.

Ada pula kaum yang memukul kepala mereka berulang kali hingga pecah. Melambangkan mereka yang kerap meninggalkan kewajiban salat.

Kemudian, Nabi diperlihatkan gambaran surga dan neraka. Surga dipenuhi kenikmatan bagi orang-orang bertakwa, sementara neraka menjadi tempat siksaan bagi para pendosa. Di antara siksaan itu, terdapat orang-orang yang memakan daging busuk, sebagai balasan bagi pezina. Ada pula yang memotong lidah mereka sendiri sebagai hukuman bagi para pembohong dan penyebar fitnah.

Rasulullah kemudian melanjutkan perjalanan bersama Jibril menuju langit.

Di langit pertama, beliau bertemu dengan Nabi Adam as., sang bapak umat manusia. Wajah beliau penuh kedamaian, tetapi mata beliau memancarkan pandangan yang begitu dalam.

“Inilah perjalananmu, wahai Muhammad,” ujar Nabi Adam sambil menunjukkan ruh-ruh anak cucunya. Sebagian bersinar terang, sebagian lainnya gelap. “Begitulah umatmu, yang akan selalu teruji oleh amal perbuatan.”

Di langit kedua, Nabi Isa as. dan Nabi Yahya as. menyambut beliau dengan senyum penuh kasih. Meskipun hidup mereka dipenuhi penderitaan, wajah mereka tetap bercahaya penuh rahmat. “Cinta yang tulus tak akan pernah mati,” ujar Nabi Isa dengan suara lembut, bagai angin yang menyentuh jiwa.

Di langit ketiga, Nabi Yusuf as. bersinar bak rembulan, berkata dengan penuh hikmah, “Cinta sejati datang dengan ujian berat, tetapi ia selalu menemukan jalan.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagai aliran sungai yang menenangkan hati yang gelisah.

Di langit keempat, Nabi Idris as. menyambut dengan senyum kebijaksanaan. Di langit kelima, Nabi Harun as, dengan suara doa yang tak pernah berhenti, memohonkan rahmat bagi umat manusia. “Ya Allah, berikanlah mereka kekuatan,” katanya penuh harapan.

Di langit keenam, Nabi Muhammad saw. bertemu dengan Nabi Musa as., yang meneteskan air mata bukan untuk dirinya, melainkan untuk umat Muhammad yang akan menerima lebih banyak rahmat. “Aku menangis bukan untuk diriku, tetapi untukmu,” katanya dengan suara yang bergetar, penuh pengorbanan.

Akhirnya, di langit ketujuh, Nabi Muhammad saw. bertemu dengan Nabi Ibrahim as., yang berdiri tegak di Baitul Ma’mur. Tempat itu, yang hanya bisa dijangkau para malaikat, dipenuhi ketenangan yang tak terlukiskan. “Ini adalah tempat yang hanya pantas untuk Yang Maha Agung,” ujar Nabi Ibrahim dengan keteguhan hati, sementara langit di sekelilingnya bersinar terang oleh cahaya Ilahi.

Namun, perjalanan belum berakhir. Burak, makhluk yang lebih cepat daripada cahaya, membawa beliau menuju Sidratul Muntaha. Jagat raya yang indah nan mempesona yang tak terjangkau oleh apa pun di dunia ini. Makhluk-makhluk di sana bertasbih tanpa suara, membawa kedamaian yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Di tempat yang sangat tinggi itu, Nabi Muhammad saw. menghadap Allah Swt dengan hati penuh kerendahan.

Allah, dalam kebesaran-Nya, memerintahkan agar umat Islam melaksanakan salat lima puluh kali sehari. Namun, Nabi Muhammad saw., dengan kasih sayang yang luar biasa kepada umatnya, memohon keringanan. Atas saran Nabi Musa as., Allah menurunkan jumlah salat menjadi lima waktu, tetapi pahala yang diberikan tetap setara dengan lima puluh kali salat.

Perjalanan panjang itu akhirnya berakhir dengan kembalinya Nabi Muhammad saw. ke Makkah. Dalam satu malam penuh mukjizat, umat Islam kini diwajibkan melaksanakan salat lima waktu. Sebuah ikatan abadi antara hamba dan Sang Pencipta.

Namun, banyak yang meragukan perjalanan ini. Beberapa berpaling, menolak untuk memercayainya. Tetapi ada satu sosok yang tak pernah ragu, seorang sahabat setia, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dengan keyakinan penuh, beliau berkata, “Jika ini datang dari Nabi, maka itu adalah kebenaran.” Tanpa ragu, beliau membenarkan kisah yang tampak mustahil itu.

Isra Mi’raj bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan jiwa yang menghubungkan umat Islam lebih dekat dengan Allah. Salat lima waktu menjadi titian yang menghubungkan umat manusia dengan Sang Pencipta. Makkah kembali sunyi malam itu, tetapi dalam keheningan itu, setiap hati Muslim dipenuhi cahaya yang tak terlukiskan. Cahaya yang datang langsung dari Yang Maha Kuasa.[*]