Oleh Nia Samsihono
Ketua Satupena DKI Jakarta
“Serakahnomiks bukan sekadar istilah, tetapi cermin buram yang memantulkan wajah pejabat dan rakyat sekaligus.”
HATIPENA.COM – Presiden Prabowo Subianto memperkenalkan istilah serakahnomiks dalam pidato penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Surakarta (Solo), Minggu malam, 20 Juli 2025. Ia menyebut adanya “mazhab baru ekonomi” yang tidak diajarkan di kampus mana pun: ilmu serakah. Istilah itu bukan sekadar permainan kata, melainkan tamparan keras atas kenyataan yang selama ini kita saksikan.
Kita tahu, keserakahan telah lama merusak sendi kehidupan bangsa. Lihatlah skandal e-KTP yang merugikan triliunan rupiah, atau izin ekspor benur yang dijadikan ladang suap. Bahkan bantuan sosial saat pandemi pun tak luput dari praktik serakahnomiks. Semua itu memperlihatkan wajah keserakahan yang terorganisasi rapi. Namun, serakahnomiks tidak hanya milik pejabat. Ia juga lahir dari sikap permisif masyarakat.
Kita sering menerima politik uang dengan alasan “sudah biasa.” Kita terkagum-kagum pada pejabat bergelimang kemewahan, seolah itulah tanda kewibawaan. Dalam arti tertentu, kita ikut menyuburkan budaya serakahnomiks.
Sejarah filsafat memberi pelajaran penting. Aristoteles pernah memperingatkan bahwa negara akan hancur jika penguasa tidak bekerja demi kebaikan bersama. Jürgen Habermas menekankan bahwa kebenaran harus lahir dari komunikasi rasional, bukan dari transaksi tersembunyi. Jika pejabat memilih jalan serakah, dan rakyat membiarkannya, maka bangsa ini berjalan menuju jurang kehancuran.
Negara lain memberi teladan berbeda. Singapura menekan korupsi dengan gaji pejabat yang memadai dan hukum tanpa kompromi. Di Skandinavia, pejabat publik dihormati karena integritasnya, bukan karena panjang iring-iringan mobil dinas. Kontras dengan kita, yang sering masih terjebak dalam simbol kemewahan.
Pertanyaannya: apakah istilah serakahnomiks hanya akan menjadi jargon baru, atau bisa menjadi titik balik? Jawabannya bergantung pada keberanian kita. Pemerintah perlu membuktikan komitmen dengan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Media harus menjaga independensi, terus membuka tabir keserakahan yang tersembunyi. Rakyat pun dituntut berani menolak politik uang, serta menilai pejabat dari integritas, bukan gemerlap fasilitas.
Serakahnomiks sejatinya adalah cermin. Kita bisa memilih bercermin lalu berpaling, atau menatapnya jujur dan mulai membersihkan noda. Jika tidak, istilah yang lahir dari pidato Presiden akan tinggal sebagai bahan olok-olok, bukan sebagai kesadaran baru.
Kita tentu tak ingin serakahnomiks menjadi warisan untuk anak cucu. Maka melawannya bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama.
“Serakahnomiks bukan takdir, ia hanya akan hidup selama kita membiarkannya. Melawan serakahnomiks berarti memilih masa depan yang lebih jujur bagi anak cucu.”
*) Penulis dan pemerhati budaya. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro dan Magister Humaniora Universitas Indonesia.