Oleh: Murdiono Mokoginta
Sejarawan, Peneliti Sejarah di Lembaga PS2BMR
HATIPENA.COM – Akhir-akhir ini isu mengenai batas negara menjadi sangat sensitif. Api perang di perbatasan antara India dan Pakistan baru saja padam, tiba-tiba letusan senjata dan dentuman bom meledak di perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Masalah ke dua bangsa ini juga berkaitan dengan soal batas negara.
Asap masih mengapul di Provinsi Surin, Thailand setelah gencatan sejata akhir Juli lalu. Peta konflik lalu bergeser ke Kalimantan Utara setelah Malasyia menolak klaim penyebutan Indonesia atas Blok Ambalat. “Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002 tentang kedaulatan Kepulauan Sipadan dan Ligitan semakin memperkuat posisi wilayah maritim kita di Laut Sulawesi,” kata Menlu Malaysia, Mohamad Hasan yang dikutip dari beberapa media nasional.
Sebagian orang pasti bingung, sebenarnya apa yang salah kalau Malaysia lebih memilih menggunakan nama Laut Sulawesi untuk menyebut kawasan maritim itu? Toh Sulawesi adalah nama pulau di Indonesia bukan Malaysia. Justru yang bahaya kalau nama kawasan itu diubah jadi Laut Sabah misalnya, maka ini jelas mengkalim wilayah laut di timur Kalimantan Utara sebagai bagian dari kedaulatan Malaysia. Sama seperti Cina menyebut Laut Cina Selatan pada beberapa kawasan maritim negara-negara di Asia Pasifik, termasuk kawasan Laut Natuna Indonesia.
Ternyata soal Ambalat tidak sesederhana yang dibayangkan. Bila kita menerima mentah-mentah terminologi istilah Malaysia itu meskipun mereka menggunakan nama Laut Sulawesi, maka seperti kita mengamini klaim mereka berdasarkan peta Malaysia yang mereka buat pada tahun 1979, termasuk kalim mereka atas kekayaan laut dan isinya di wilayah yang sedang disengketakan saat ini.
Masing-masing negara memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat persoalan di kawasan itu. Klaim Malaysia bermula pada tahun 1979 saat mereka menetapkan batas-batas laut versi mereka sendiri antara Sabah dan Kalimantan Timur dengan menarik garis pangkal dari Pulau Sipadan hinga ke Pulau Sibatik. Batas-batas ini menyebabkan wilayah yang ada di sebelah timur Kalimantan Utara dan sebelah selatan Pulau Sipadan dan Ligitan masuk dalam wilayah Malaysia dengan luas yang diklaim mencapai 15.235 KM2.
Klaim luas wilayah lautan yang dimaksud menurut Malaysia mencakup tubuh air dan dasar laut beserta seluruh kekayaan yang ada di kawasan itu. Mengapa Laut Sulawesi yang digunakan? Jelas karena peta versi Malaysia tahun 1979 memang tertera bahwa kawasan yang disengketakan adalah kawasan Laut Sulawesi (bukan Ambalat).
Indonesia pada dasarnya tidak membantah soal penamaan perairan tersebut. Hal ini misalnya dijelaskan oleh Wakil Menteri Luar (Wamenlu) Republik Indonesia, Arif Havas Oegroseno dikutip dari Kumparan (09/08) bahwa Ambalat memang bukan nama laut, melainkan nama blok minyak yang berada di dasar laut.
Meski peta Malaysia 1979 mendapat penolakan dari beberapa negara seperti Indonesia, Filipina, Singapura, Cina, bahkan Inggris, mereka tetap menggunakan peta itu sebagai klaim kedulatan mereka. Hal ini bertentangan dengan klaim Indonesia atas wilayah tersebut hingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih yang menimbulkan ketegangan antara ke dua negara.
Klaim Indonesia di sana didasarkan atas Konvensi Hukum Laut 1982 di mana negara kepulauan (Archipelagic State) berhak berdaulat dan mengelola kekayaan alam di dasar laut hingga kedalaman tanahnya (termasuk gas dan minyak bumi) hingga 200 mil (belum termasuk ditarik dari pulau-pulau terluar dan sumber daya dasar lautnya). Indonesia yang diakui dunia sebagai negara kepulauan mendapat kekhususan itu dibanding Malaysia yang hingga kini belum diakui sebagai negara kepulauan (masih dalam proses perjuangan mendapat pengakuan dunia).
Blok Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur karena batuan dasarnya adalah bagian dari lempeng benua pembentuk Kalimantan. Letak Blok Ambalat masih dalam jarak 200 mil dari garis dasar kepulauan nusantara di pantai Kalimantan Timur. Fakta tersebut yang menguatkan bahwa Blok Ambalat memang masih dalam jangkauan wilayah Indonesia dan Indonesia berhak atas pengelolaannya. Terlebih lagi, Indonesia telah melakukan eksploitasi dan eksplorasi pada Blok Ambalat dan wilayah sekitarnya sejak dulu. Pada saat itu, Malaysia tidak pernah melayangkan nota protes sekalipun atas klaim Indonesia tersebut (Moch Taufik, 2017: 7).
Meskipun dalam tinjauan hukum internasional Indonesia memiliki posisi kuat untuk berhak atas kekayaan di Blok Ambalat yang terletak di Laut Sulawesi, namun Indonesia memilih jalur damai dengan mengajak Malaysia untuk sama-sama mengelolah kekayaan yang ada di sana. Indonesia memandang bahwa perang adalah langkah yang bisa merugikan semua pihak. Walaupun terdengar sangat menyejukan, tapi ini justru menunjukkan sisi lemah Indonesia dalam menjaga dan menggunakan hak kekayaan alam tanpa intervensi dari pihak manapun.
Indonesia seperti dibayang-bayangi Malaysia dan kita tidak bisa mengabaikan fakta-fakta ini. Bagaimana kalau kita mengelolah kekayaan di Blok Ambalat tanpa melibatkan Malaysia? Apakah kita cukup berani. Jawabannya ‘tidak’, kita tidak siap perang dan itu telah dibaca oleh Malaysia sehingga Menteri Luas Negeri (Menlu) Malaysia, Mohamad Hasan berani mengeluarkan pernyataan yang secara politis seakan menunjukkan superioritas mereka atas Indonesia.
Bukan berarti bahwa kita menghendaki perang. Perang adalah jalan terakhir demi mempertahankan kedamaian sebagaimana kata Sun Tzu “Seni perang tertinggi adalah menaklukan musuh tanpa bertempur”. Tapi sebuah negara yang kuat dapat dilihat dari bagaimana bangsanya mengelolah kekayaan alam tanpa tertekan dengan musuh dari pihak lain.
Bapak bangsa Tan Malaka berkata “Bagaimana mungkin kita berunding dengan maling di dalam rumah sendiri?”, mencerminkan bahwa kekayaan dan kedaulatan adalah nyawa bangsa yang tidak bisa dinegosiasikan. Mengelolah kekayaan alam secara mandiri adalah wujud nyata dari kedaulatan 100 persen.
Indonesia yang tidak bisa keluar dari bayang-bayang Malaysia dalam soal Blok Ambalat menunjukkan bahwa kekuatan maritim kita lemah. Dengan keberhasilan kita memperjuangkan pengakuan diri sebagai negara kepulauan (archipelagic state) harusnya kita jangan membelakangi (memunggungi) laut. Kita justru harus menghadap laut dan memikirkan bagaimana kekuatan bangsa Indonesia dibangun dengan pertahanan maritim yang kuat, bila mungkin, harus disegani oleh dunia.
Bung Karno berpidato pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Maritim I di Jakarta pada 23 September 1963 sebagaimana berikut:
“Negara Indonesia hanyalah bisa menjadi kuat jikalau ia juga menguasai lautan. Negara yang rakyatnya cuma hidup adem tentrem kadyo sinirem banju waju sewindu lawase di lereng-lereng gunung, kerajaay yang demikian itu tidak bisa menjadi kuat, negara yang demikian itu tidak bisa menjadi kuat, apalagi sejahtera. (…) Kita sekarang satu persatu, seorang demi seorang harus yakin bahwa Indonesia tidak bisa menjadi negara yang kuat, sentosa, sejahtera, jikalau kita tidak menguasai pula samudera, jikalau kita tidak kembali menjadi satu bangsa bahari, bangsa pelaut sebagai kita kenal di zamanan Bahari itu”.
Pernyataan Bung Karno itu membuat kita sadar bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang tidak bisa diintervensi, ditekan, atau dibayang-bayangi oleh negara lain. Itu terjadi bila Indonesia memiliki kekuatan di laut dan disegani.
Kita dipaksa untuk memaklumi tawaran diplomasi Indonesia kepada Malaysia yang mengajak bekerjasama mengelolah Blok Ambalat agar Malaysia tidak lagi mengklaim kawasan ini. Dengan alasan damai, seakan kerjasama adalah solusi. Padahal kita sedang menunjukkan bahwa kita lemah di laut, kita tidak siap perang, dan kita masih mudah dibayang-bayangi oleh bangsa lain. Indonesia yang kuat adalah Indonesia yang berdaulat atas laut. Dan bila kita kuat, tentu tidak akan mudah berunding dengan maling di rumah sendiri. (*)