Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
Ilustrasi AI/Hatipena
HATIPENA.COM – Di awal tahun 2025, akhirnya aku berkesempatan menjejakkan kaki di Jakarta.
Dari Bandara Soekarno-Hatta, perjalanan langsung mengarah ke PIK 1, kawasan yang sedang ramai dibicarakan. PIK 1 dan PIK 2, dua nama yang seolah menjadi janji kemewahan di tepian ibu kota negara itu.
Secara administratif, mereka bukan Jakarta—melainkan Banten. Tapi bagi banyak orang, mereka tetaplah bagian dari Jakarta, atau setidaknya, halaman depannya Jakarta.
Sesampainya di sana, mata ini langsung menangkap sebuah paradoks. Jakarta yang kutahu selama ini adalah kota yang padat, bising, macet, dan semrawut. Rumah-rumah kumuh berdesakan, kabel-kabel listrik menjuntai seperti akar yang tak beraturan, jalanan penuh sesak oleh klakson yang saling bersahutan. Tapi di sini, di PIK 1 dan PIK 2, yang tampak adalah kebalikannya.
Jalanan lengang, udara lebih bersih, bangunan berdiri dengan rapi. Tidak ada tiang listrik yang semrawut, tidak ada rumah-rumah reyot yang berdempetan. Yang ada hanya apartemen megah, pusat bisnis, restoran berkelas, dan fasilitas mewah yang seolah berkata, “Inilah wajah Jakarta yang seharusnya.”
Tapi benarkah ini Jakarta? Di satu sisi, PIK adalah mahakarya, sebuah kota yang dirancang dengan ketertiban dan eksklusivitas. Namun di sisi lain, ia seperti cermin yang menampilkan wajah lain dari ibu kota—bukan Jakarta yang sesungguhnya, melainkan versi yang telah disaring, kadang terkesan asing, dibersihkan, dan dikemas ulang untuk segelintir orang.
Paradoksnya semakin jelas: Jakarta ingin maju, tetapi kemajuannya justru tumbuh di luar batas-batasnya sendiri. Jakarta ingin rapi, tetapi keteraturannya hanya bisa ditemukan di tempat yang tak lagi Jakarta. Jakarta ingin nyaman, tetapi kenyamanan itu tidak bisa dinikmati semua orang.
Lalu, apa arti sebuah nama? Apa arti “Jakarta Baru” jika ia hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membelinya? PIK mungkin adalah wajah modern ibu kota, tetapi Jakarta yang sebenarnya masih ada di luar sana—tetap kumuh, tetap padat, tetap berjuang di tengah segala ketidakteraturan yang menjadi takdirnya.
Jakarta dan bayangannya. Kota yang ingin menjadi sesuatu yang baru, tetapi tak bisa benar-benar melepaskan diri dari dirinya sendiri.
Jakarta, 5 Februari 2025