Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Jangan Coba-coba Ngakalkan Prabowo

January 17, 2025 16:59
IMG-20250117-WA0095

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

PRESIDEN kita ni, bos. Senggol, dong! “Jangan cam-macam,” kata Kacong. Lama saya tak menulis tentang Prabowo. Sambil menikmati kopi di Jalan Apel Pontianak, yok kita kulik pidato beliau.

Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Langit sore tampak suram, seperti tahu bakal ada sesuatu yang tak biasa terjadi. Di panggung megah Munas Kadin, Presiden Prabowo berdiri. Sorot lampu menyinari wajahnya, mengukir bayangan tegas seorang pemimpin yang lelah melihat bangsa ini main-main.

Lalu ia bicara. Dengan suara yang menggelegar seperti badai musim penghujan. “Saudara-saudara, saya sudah lama jadi orang Indonesia. Teknik akal-akalan itu semua saya paham.”

Ruangan hening. Hening yang bukan hening biasa. Ini adalah hening macam orang tertangkap basah mengantongi amplop di depan kamera. Para hadirin menatap, menahan napas, seakan takut Presiden bisa membaca isi kepala mereka satu per satu.

Presiden melanjutkan, nada suaranya kini seperti keris yang ditarik dari sarung. “Kekayaan Indonesia ini banyak, melimpah. Tapi apa gunanya kalau dikelola dengan gaya anak magang yang lupa laporan? Semua boros. Semua sia-sia.”

Hati siapa yang tak gemetar mendengar ini? Kalimat-kalimatnya tajam, menusuk ke relung jiwa yang paling dalam, sampai membuat kopi dingin di meja rapat terasa semakin pahit.

“Efisiensi!” seru Prabowo, dengan semangat seperti seorang panglima memerintahkan pasukan di medan perang. “Kalau pengeluaran lebih besar dari pemasukan, ya sudah, itu pailit. Itu hukum alam. Hukum matematika. Jangan lawan matematika!”

Keringat dingin mulai menetes di dahi beberapa orang penting. Mereka tahu. Mereka semua tahu.

Prabowo, seperti dewa yang turun dari khayangan, kini berbicara tentang sesuatu yang selama ini hanya menjadi mitos di negeri ini, efisiensi.

“Banyak yang tidak percaya kita bisa berubah,” katanya, suaranya menurun, lebih lembut, tapi tetap menghantam. “Saya paham. Saya tahu skeptisisme itu ada. Tapi saya… semakin yakin, semakin percaya, bahwa bangsa ini bisa bangkit. Dengan cara yang benar. Tanpa tipu-tipu. Tanpa akal-akalan.”

Para hadirin mulai saling pandang. Bangkit? Benarkah? Tapi ini Prabowo. Jika ada satu orang yang bisa menyulut api harapan di tengah lautan keraguan, mungkin itu dia.

“Saudara-saudara,” lanjutnya, dengan nada yang sekarang terdengar seperti ayah yang memberi wejangan terakhir pada anak-anaknya sebelum mereka masuk dunia nyata. “Pengusaha mana pun tahu ini, kalau bisnis tidak efisien, bisnis itu mati. Begitu juga negara. Jangan main-main dengan efisiensi. Ini soal hidup dan mati bangsa.”

Satu tepuk tangan. Lalu dua. Kemudian meledaklah sorak-sorai di ruangan itu, seperti gunung yang akhirnya meletus setelah menahan tekanan selama berabad-abad. Presiden hanya diam, melihat mereka dengan pandangan seorang guru yang tahu murid-muridnya masih harus belajar banyak.

Di akhir pidatonya, ia berdiri tegak, seakan seluruh dunia kini berada di pundaknya. “Untuk bangsa, untuk rakyat, untuk negara, saya bertekad. Tidak akan ada lagi pemborosan. Tidak akan ada lagi kesia-siaan. Kita akan maju. Kiita akan menang.”

Lalu ia pergi, meninggalkan ruangan yang kini dipenuhi keheningan baru. Sebuah keheningan penuh janji. Penuh rasa takut. Penuh harapan.

Presiden Prabowo telah berbicara. Akal-akalan tak lagi punya tempat di negeri ini. Atau… setidaknya, begitulah mimpi yang ia tinggalkan di Mega Kuningan sore itu.

#camanewak