HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Jejak Hamka di Masjidil Haram

June 20, 2025 12:48
IMG-20250620-WA0029

Elza Peldi Taher

HATIPENA.COM – Selasa, 17 Juni 2025. Mekkah masih menyala oleh gairah ribuan langkah jamaah. Debu, doa, dan panas menyatu dalam semesta yang serba suci. Ketika hendak masuk Masjidil Haram, mataku tertumbuk pada tulisan sederhana di atas sebuah pintu: Library of Masjidil Haram. Aku tertegun.

Di tengah era perpustakaan digital dan mesin pencari yang serba cepat, siapa sangka, di jantung Masjidil Haram, rumah spiritual umat Islam, masih ada ruang kecil yang menyimpan buku-buku fisik. Sebuah perpustakaan. Tak pernah kudengar kabarnya sebelumnya. Tak pernah terpikir tempat ini masih menyimpan sunyi dan bacaan.

Penasaran, aku mengajak istri dan seorang teman, Yasa, anak muda yang semangat belajar agama, untuk masuk. Tapi sayangnya, hanya laki-laki yang diperkenankan masuk ke ruangan itu. Istri harus menunggu di luar. Sementara aku melangkah masuk dengan rasa campur aduk antara heran, haru, dan rasa ingin tahu.

Perpustakaan itu tak besar, bahkan bisa dibilang sederhana. Tapi ia rapi dan bersih. Ada penjaga yang sopan meminta kami mengisi buku tamu. Di dalamnya, tak lebih dari delapan orang pengunjung — sebagian membaca, sebagian hanya duduk. Udara tenang. Waktu terasa melambat di ruangan itu.

Aku berjalan menyusuri lorong-lorong buku. Ada koleksi dari berbagai negara: buku-buku fiqih, tafsir, sejarah. Dan tiba-tiba, aku berhenti di satu rak. Di sana tertulis: Indonesia. Tanganku spontan meraih satu set tebal berjilid-jilid.

Tafsir Al-Azhar. Buya Hamka.
Tujuh jilid. Lengkap. Rapi. Masih utuh.

Aku terkesiap. Dadaku bergemuruh. Seakan aku baru saja bertemu seorang guru t lama yang telah wafat namun masih berbicara lewat kata-katanya.

Aku buka halaman-halaman awal. Gaya bahasanya yang jenih dan menyentuh, mengingatkanku pada masa kecil, ketika suara Hamka sering hadir lewat radio. Ia ceramah bukan hanya dengan ilmu, tapi juga dengan hati. Ia menulis bukan untuk menunjukkan kehebatan, tapi untuk menyampaikan hikmah.

Saya menulis tafsir ini dalam penjara, namun hati saya tak pernah dipenjara.
(Hamka, dalam pengantar Tafsir Al-Azhar)

Buya Hamka adalah nama yang telah menyeberang batas generasi dan geografi. Ulama, sastrawan, politikus, dan cendekiawan.

Lahir di Minangkabau pada 1908. Ayahnya, Haji Rasul, adalah tokoh pembaharu Islam yang keras. Sejak kecil Hamka mencintai ilmu dan sastra. Namun pendidikannya tak menempuh jalur formal tinggi. Ia belajar mandiri, membaca rakus, menyerap pemikiran-pemikiran modern dari Timur dan Barat. Ia muda yang gelisah — dan gelisahnya itu membawanya ke tanah suci pada usia belia.

Ia tinggal di Mekkah, belajar di Masjidil Haram, berdagang kecil-kecilan sambil menuntut ilmu. Di sinilah, tanah yang sedang kupijak kini, ia menegaskan niatnya: menjadi ulama, penulis, dan penyampai hikmah.

Ia menulis dalam catatannya bahwa Mekkah mengajarkannya kesabaran dan keikhlasan. Di hadapan Ka’bah, semua manusia setara: raja maupun rakyat, miskin maupun kaya. Itulah pelajaran terbesar dari ibadah ini — mengikis ego, membakar riya, dan membentuk manusia baru.

Hamka bukan hanya ulama. Ia adalah sastrawan. Novelnya
Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Merantau ke Deli — adalah novel-novel yang memadukan cinta, tradisi, dan pencarian makna. Ia menulis dengan bahasa yang indah tapi tak berbelit. Ia mengajak berpikir, tapi dengan kelembutan. Tak heran ia menjadi pionir sastra religius Indonesia.

Namun hidupnya tak selalu mulus. Di masa pemerintahan Sukarno, Hamka dituduh bersekongkol dengan kekuatan anti-republik. Ia ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan yang adil. Tiga tahun ia di penjara. Ia tak marah, hanya menulis. Di balik jeruji itulah ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Sebuah karya monumental yang kini tersimpan di perpustakaan Masjidil Haram. Bukankah ini ironi yang indah?

Namun kisah paling menyentuh datang setelah itu. Ketika anak Sukarno hendak menikah, presiden pertama RI itu berada dalam situasi sulit. Tak banyak tokoh agama yang berani tampil, karena status Sukarno saat itu di ujung tanduk. Tapi Hamka — orang yang pernah dizalimi oleh penguasa itu — justru tampil sebagai penghulu, sebagai saksi pernikahan.

“Saya tak bisa membalas dengan kebencian,” kata Hamka.
“Saya hanya bisa membalas dengan kebaikan.”

Dan ada satu lagi kisah, yang memperlihatkan betapa besarnya jiwa Hamka — kisah dengan Pramoedya Ananta Toer.

Keduanya pernah berada di kutub yang berseberangan. Pram, tokoh kiri dan pengarang besar Indonesia, sering menyindir dan mengkritik Hamka secara terbuka. Ia bahkan menuduh Hamka melakukan plagiat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Polemik ini berlangsung panjang, menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia yang penuh ketegangan ideologis maupun estetika.

Namun sejarah berputar.Di masa Orde Lama, Pram justru ikut merasakan jeruji besi Suharto — sebuah ironi sejarah yang tak pernah direncanakan.

Suatu hari, ketika Hamka sudah berada dalam masa tuanya, ia kedatangan tamu yang tak biasa. Seorang perempuan, Astuti, datang ke rumahnya. Ia memperkenalkan diri sebagai anak Pramoedya Ananta Toer. Astuti adalah seorang muslim. Maka sesuai tuntunan Islam, calon suaminya harus memeluk Islam terlebih dahulu sesuai keinginan Pram. Orang yang Pram tuju untuk membimbing proses itu — bukan ulama sembarangan — adalah Hamka. Sosok yang selama bertahun-tahun menjadi sasaran kritik dan sindiran ayah dari mempelai perempuan.

Hamka menyambutnya dengan tenang. Tak ada amarah. Tak ada dendam. Dengan hati lapang, Hamka membimbing calon menantu Pram mengucapkan dua kalimat syahadat.

Beberapa hari kemudian, setelah prosesi pengislaman selesai dan pernikahan berjalan, Pram berkata kepada seorang sahabatnya:

“Saya memang sering menyerang Hamka, tapi saya harus akui, dia seorang ulama sejati. Tidak semua orang bisa sebesar itu jiwanya.”

Kebesaran jiwa memang bukan milik orang besar, tapi milik orang yang mampu memaafkan. Dan Hamka, dalam banyak hal, tak hanya mengajarkan Islam — ia menjadi Islam itu sendiri.

Tak hanya di Indonesia, nama Hamka juga melintasi batas negara. Karya-karyanya banyak dibaca di Malaysia dan Singapura. Ia pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia, namun juga dihormati oleh para intelektual karena sikapnya yang terbuka dan santun. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Melayu, dan Inggris. Di beberapa perguruan tinggi Islam internasional, Tafsir Al-Azhar menjadi referensi alternatif yang humanis dan inklusif.

Hamka memang menulis dengan cinta. Ia menulis untuk menjernihkan, bukan membingungkan. Ia menulis bukan untuk menyerang, tapi menyentuh.

Kini Hamka telah tiada. Tapi namanya tetap hidup.
Ia hidup di rak-rak perpustakaan. Di sekolah-sekolah. Di radio-radio kampung. Di hati orang-orang yang membaca karyanya.

Pramoedya Ananta Toer menulis:

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Hamka membuktikannya. Ia telah pergi, tapi ia tak hilang.
Ia telah wafat, tapi ia tetap berbicara — bahkan di lorong-lorong sunyi perpustakaan Masjidil Haram.

Ketika azan berkumandang, aku tutup buku itu perlahan. Aku kembalikan ke raknya. Kusempatkan memandanginya sekali lagi. Buku yang ditulis dalam penjara, kini hadir di tanah suci, dibaca oleh jamaah dari berbagai bangsa.

Aku keluar dari perpustakaan itu dengan dada penuh haru.
Kupandangi Masjidil Haram dari kejauhan. Di antara jutaan manusia yang datang ke sini, Hamka tetap hadir — dalam kata, dalam hikmah, dalam jejak yang abadi.

Aku pun merenung. Mungkinkah suatu hari kelak, satu-dua baris catatanku ikut disimpan dalam rak yang sama? Tentu saja tidak. Namaku paling dicatat sebagai salah seorang pengunjung. Tapi kini aku tahu, menulis bukan soal dikenal, tapi soal meninggalkan cahaya — seperti Hamka, yang kata-katanya tak hanya hidup, tapi menuntun.

Di tanah suci ini, aku belajar: thawaf membersihkan jiwa, sai menguji ketekunan, dan sebuah buku — karya seorang hamba — bisa menjadi zikir yang tak pernah henti.

Begitulah kekuatan seorang penulis.
Ia tidak hanya menggerakkan pena. Ia menggerakkan jiwa. (*)

Mekkah 17 Juni 2025