Oleh: Wahyu Iryana
HATIPENA.COM – Wayang kulit pesisiran dari Indramayu dan Cirebon bukan sekadar seni pertunjukan; ia adalah cermin budaya yang kaya akan filosofi, nilai-nilai spiritual, dan wujud kritikan terhadap realitas sosial. Dalam lakon carangan seperti Jimat Layang Kalimasada, Bagal Buntung Gugat Sikil, Cungkring Dadi Raja, dan Semar Munggah Haji, kita menemukan refleksi mendalam tentang kehidupan, kepemimpinan, dan spiritualitas masyarakat pesisir utara Jawa, yang mengajak penonton merenung, berimajinasi, sekaligus mempertanyakan tatanan dunia ini.
Filosofi dan Simbolisme dalam Wayang Pesisir
Wayang kulit pesisiran tidak hanya menyuguhkan hiburan semata, tetapi juga sarat dengan simbolisme yang mendalam. Setiap unsur dalam pertunjukan mengandung makna yang lebih besar, yang sering kali sulit dipahami dalam sekali pandang. Dalam setiap lakon, dalang bukan hanya bercerita, tetapi juga menuntun penonton untuk meresapi filosofi hidup yang tersembunyi di balik setiap karakter, konflik, dan resolusi.
Salah satu contoh yang paling menonjol dari filosofi mendalam dalam wayang kulit pesisiran adalah lakon Jimat Layang Kalimasada. Dalam lakon ini, Jimat Layang Kalimasada bukan sekadar objek magis yang membawa keberuntungan, melainkan simbol dari keseimbangan hidup yang harus dijaga dengan bijaksana. Pusaka ini, yang ada di tangan Semar, mengandung ajaran moral yang sangat dalam, yaitu bahwa kekuasaan dan kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki dengan cara sewenang-wenang atau karena keturunan semata, tetapi harus dijaga dengan kesucian hati dan pemahaman akan tugas besar yang diemban.
Semar, sebagai tokoh punakawan yang selalu muncul dengan kebijaksanaan dalam kelucuannya, bukan hanya mewakili kekuatan duniawi, tetapi juga spiritualitas yang mendalam. Ia adalah manifestasi dari Sang Hyang Ismaya, yang ditugaskan untuk menjaga keseimbangan alam semesta, baik secara makro maupun mikro. Filosofi Semar terletak pada kemampuannya untuk menyeimbangkan segala hal: duniawi dan ukhrawi, kebijaksanaan dan kelucuan, serta kebenaran dan kebohongan yang terkadang perlu dibuka agar orang lain sadar.
Jimat Layang Kalimasada dalam cerita ini menjadi simbol dari kekuatan moral dan spiritual yang menuntun para pemimpin untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan kesejahteraan bersama, bukan sekadar keuntungan pribadi. Pusaka ini mengingatkan bahwa, dalam setiap perjuangan hidup, pemimpin yang sejati bukanlah yang mengandalkan kekuatan fisik atau kekuasaan materi, tetapi mereka yang mampu menjaga keharmonisan dalam diri dan dalam hubungan mereka dengan sesama.
Lakon Carangan sebagai Kritik Sosial
Selain kaya akan filosofi, lakon-lakon carangan dalam wayang kulit pesisiran, seperti Bagal Buntung Gugat Sikil dan Cungkring Dadi Raja, sering kali digunakan sebagai medium untuk mengkritik ketidakadilan sosial, ketimpangan kekuasaan, dan penyalahgunaan otoritas. Dalam Cungkring Dadi Raja, misalnya, tokoh Cungkring yang biasanya dianggap lemah dan tak berdaya, tiba-tiba menjadi raja. Perubahan drastis ini menggambarkan pembalikan hirarki sosial yang kerap terjadi dalam masyarakat, terutama dalam mempertanyakan legitimasi kekuasaan yang hanya bergantung pada status dan keturunan.
Di sisi lain, dalam Semar Munggah Haji, lakon ini menggambarkan ironi dari perjalanan spiritual yang kosong dari makna. Semar, yang secara fisik dan sosial lebih rendah dari para bangsawan atau pemimpin, berangkat haji dan diterima di Mekkah, tetapi dengan kritikan terhadap niat yang seringkali tersembunyi dalam praktik ibadah. Di sini, Semar bukan hanya menjadi simbol kelucuan, tetapi juga sarana untuk merefleksikan kemurnian niat dalam menjalankan segala bentuk ibadah. Filosofi yang terkandung adalah bahwa kesucian niat harus dijaga dalam setiap tindakan, bahkan ketika itu adalah perjalanan spiritual seperti ibadah haji.
Lakon-lakon ini menyuarakan keberanian untuk mempertanyakan tatanan sosial yang ada dan menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara pemimpin dan rakyat. Wayang kulit pesisiran dengan segala kritikan yang dibawakannya, berfungsi sebagai cermin masyarakat yang menggugah, memotivasi, dan memberikan ruang bagi refleksi diri.
Migrasi Budaya ke Serang dan Lampung
Wayang kulit pesisiran tidak hanya berkembang di wilayah asalnya, tetapi juga bermigrasi dan beradaptasi dengan budaya baru di daerah lain, seperti Serang, Banten, dan Lampung. Di Serang, Banten, wayang kulit pesisiran diterima dengan baik oleh masyarakat agraris dan santri yang sebelumnya lebih akrab dengan tradisi debus dan seni bela diri. Dalang-dalang keturunan Indramayu dan Cirebon yang menetap di Banten menghidupkan kembali lakon-lakon seperti Semar Munggah Haji, Bagong Sabda Guru, dan Cungkring Dadi Raja dengan sentuhan dialek lokal Banten dan tema-tema kontemporer, seperti urbanisasi, kemiskinan kota, serta kritik terhadap birokrasi pemerintah daerah.
Sementara itu, di Lampung, wayang kulit pesisiran mengalami akulturasi yang kuat dengan budaya lokal Lampung Pepadun dan Saibatin. Di daerah-daerah seperti Metro dan Lampung Tengah, pertunjukan wayang kulit pesisiran digelar pada acara-acara penting, seperti peringatan hari besar Islam, khitanan, dan sedekah bumi. Di sini, seni wayang kulit pesisiran berkembang tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral dan kritik sosial.
Dalam konteks Lampung, beberapa lakon carangan mengalami modifikasi tematik dan semantik yang disesuaikan dengan isu-isu lokal. Syangyang Mumet Turun Ampah, misalnya, diadaptasi untuk menyindir ketimpangan ekonomi antara daerah pertanian dan industri perkebunan sawit yang menggerogoti tanah-tanah rakyat. Semar, yang sebelumnya menjadi simbol kebijaksanaan, kini juga menjadi suara protes terhadap perampasan lahan dan ketidakadilan sosial. Begitu pula dengan Bagong Olih Wahyu, yang menggambarkan pencerahan spiritual Bagong sebagai kritik terhadap sistem pendidikan yang mahal dan tidak merata di daerah transmigrasi.
Integrasi dengan Nuansa Keislaman
Lakon-lakon yang dibawakan di Lampung tidak hanya mencerminkan akulturasi budaya lokal, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai keislaman. Cerita seperti Semar Munggah Haji misalnya, kini disisipi dengan syair-syair dakwah, doa-doa dalam bahasa Arab, serta sentuhan bahasa Lampung yang kental. Ini menambah kedalaman spiritual dalam setiap pertunjukan, yang tidak hanya menyampaikan cerita tetapi juga memberikan pengalaman rohani bagi penontonnya. Musik gamelan yang biasa digunakan dalam wayang kulit pesisiran kini sering kali dilengkapi dengan rebana dan salawatan, menciptakan suasana yang makin religius dan harmonis.
Wayang kulit pesisiran dari Indramayu dan Cirebon, dengan segala kekayaan filosofis dan simbolismenya, telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dan bermigrasi ke wilayah-wilayah lain seperti Serang dan Lampung. Melalui lakon-lakon carangan yang penuh dengan kritik sosial dan nilai-nilai spiritual, wayang kulit pesisiran terus hidup dan relevan dalam berbagai konteks budaya. Seni ini tidak hanya bergantung pada pelestarian bentuknya, tetapi juga pada kemampuannya untuk terus menyuarakan suara rakyat, menjadi cermin kehidupan masyarakat, serta menghidupkan kembali tradisi yang penuh dengan hikmah dan petuah yang mendalam. (*)