Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Jokowi di Vatikan, Sunyi di Antara Duka dan Keramaian

April 29, 2025 11:00
Joko Widodo menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan (Foto: Tangkapan layar viral)
Joko Widodo menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan (Foto: Tangkapan layar viral)

Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Di tengah ramainya pelayat yang datang ke Vatikan untuk memberi penghormatan terakhir kepada pemimpin gereja dunia Paus Fransiskus, ada satu figur dari Indonesia hadir dalam balutan setelan rapi.

Ia berdiri di tengah keramaian sambil menyaksikan prosesi pemakaman Sang Paus. Namun sepertinya ada yang janggal, tidak seperti pelayat-pelayat yang lain. Ia seperti tampak asing di antara tawa, pelukan, dan saling sapa para pemimpin dunia. Ia seperti sepi di antara keramaian. Tak ada jabat tangan, tak ada senyuman hangat, bahkan kamera pun seperti ia hindari.

Sosok itu adalah Joko Widodo, eks Presiden Republik Indonesia, yang kini sudah menjadi rakyat biasa. Ia sudah bukan siapa-siapa, namun secara politis masih menjadi siapa-siapa. Ia dikirim Presiden Prabowo dalam misi belasungkawa kenegaraan. Sebuah misi mulia, tentu.

Dalam rekaman video berdurasi 01:33 itu, ia tertangkap kamera sedang “terjebak” dalam kebingungan. Sorotan seakan datang dari keheningan yang mengelilinginya. Dunia berbicara, tapi Jokowi memilih diam. Dunia bertegur sapa, ia memilih membisu. Dunia berjabat tangan, ia menyelipkan tangannya ke dalam saku. Sungguh sebuah pemandangan yang paradoksal.

Netizen berspekulasi, mungkin ini karena faktor kendala bahasa yang menyebabkan ia tampak terisolasi. Namun kita semua tahu, gestur tubuh tak membutuhkan google translate. Ketika Donald Trump bercanda dengan Emmanuel Macron, dan ketika Olaf Scholz bertukar pandang dengan Justin Trudeau, Jokowi berdiri dan sempat dibelakangi oleh seseorang. Ia berada di tengah para pemimpin negara, tapi tidak diperhatikan. Hadir, namun tak diajak dalam percakapan.

Dalam video yang beredar itu, Jokowi tidak tampak bersalaman, tidak mengangguk, tidak tersenyum, dan tidak pula menjabat tangan siapa pun. Bahkan mulutnya tidak nampak bebicara atau komat-kamit seperti orang berdoa, misalnya.

Atau mungkin Jokowi yang salah posisi. Seharusnya dia tidak berada di kalangan pemimpin dunia, karena orang sudah tahu bahwa dia bukan lagi presiden, tapi belum tahu juga mau dianggap sebagai apa. Presiden emeritus? Duta diam? Atau mungkin hanya tamu spesial dari negara maritim yang ikannya habis dicuri orang, dan demokrasinya yang compang-camping.

Tapi publik masih penasaran dengan pertanyaan terbesar yang menggantung di udara Vatikan yang sejuk, “Mengapa tak ada satu pun pemimpin dunia yang berani berjabat tangan dengan Joko Widodo?”

Mungkinkah karena ada kaitannya dengan pemberitaan dari Organised Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), yang menempatkan Jokowi runner-up sebagai tokoh paling korup di dunia. Jika benar, betapa malunya kita, mengirim orang ke acara sakral, pemakaman tokoh dunia dengan mengirim orang yang cacat moral seperti ini.

Jika itu benar, maka wajar jika para pemimpin negara yang hadir di Vatikan memilih untuk menjaga jarak. Sebab dalam pergaulan politik global, berjabat tangan dengan orang yang salah, bisa menjadi viral dalam hitungan detik, lengkap dengan komentar netizennya, yang kadang lebih ganas dari kamera 360.

Akan banyak pertanyaan yang harus dijelaskan kepada netizen hanya gara-gara bersalaman dengan seseorang yang dicurigai publik internasional memiliki kedekatan dengan berbagai pelanggaran etis.

Saat ini, bagi para pemimpin dunia, boleh jadi bersalaman dengan Jokowi sama risikonya dengan memegang bara panas di hadapan kamera dunia. Bukan hanya tangan yang terbakar, tetapi juga reputasi.

Dalam situasi seperti ini, sikap pura-pura tidak melihat menjadi strategi pertahanan moral yang paling aman. Lebih baik berdiri kaku sambil pura-pura sibuk mengagumi arsitektur Basilika Santo Petrus, daripada harus pulang ke negara asal dan berhadapan dengan tuduhan kolusi akibat satu jabat tangan yang terekam kamera internasional.

Pengamat politik Virdika Rizky Utama menyebut kehadiran Jokowi di Vatikan sebagai “pengiriman figur yang dicurigai publik global ke ruang yang dijaga ketat secara moral.” Pernyataan ini seakan terkonfirmasi dengan situasi yang sesungguhnya di lokasi pemakaman Sang Paus di Vatikan.

Vatikan memang tidak punya data soal keputusan MK yang memuluskan anaknya menjadi wakil presiden. Vatikan juga dipastikan tidak tahu soal munculnya undang-undang omnibus law. Apa lagi soal pembangunan IKN, food estate, pagar laut dan lain-lain. Tapi itu semua mungkin terendus oleh moral kolektif dunia internasional.

Mungkin sudah menjadi lumrah ketika seorang presiden yang memanen kritik atas pelanggaran etika demokrasi, cawe-cawe dalam Pilpres dan Pilkada, dan berbagai praktik kekuasaan yang manipulatif, hadir dalam seremoni spiritual yang sarat nilai moral. Bagaikan menghadiri misa arwah sambil menyimpan keranjang penuh dosa dalam mantel jas.

Maka kita patut memaklumi, dalam upacara yang sakral dan penuh doa itu, bukan hanya jiwa yang dijaga tetap suci, tetapi juga tangan, yang dengan sangat hati-hati menghindari noda simbolis, yang bisa berujung pada cibiran dan cacian rakyatnya. (*)

Berita Terkait