Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Judi antara Kejahatan, dan Kenyataan

March 15, 2025 08:55
IMG_20250315_085407

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Judi sejatinya adalah pelanggaran, bukan kejahatan. Setidaknya, itulah yang dulu berlaku di negeri ini.

Karena ia bukan kejahatan maka ia boleh ada. Di dunia norma tentang pelanggaran dan kejahatan sama. Berbohong, menipu, mencuri, korupsi adalah kejahatan. Ia tak boleh ada. Harus dihukum. Aturan dibuat untuk meniadakan kejahatan, tapi kalau pelanggaran boleh ada. Aturan yang dibuat untuk menertibkannya, melanggar pelanggaran bisa dihukum, tapi pelanggaran bukan perbuatan jahat.

Karena berjudi normanya adalah pelanggaran, maka berjudi hanya menjadi perbuatan melawan hukum jika dilakukan tanpa izin.

Namun, belakangan di Indonesia, judi bukan lagi sekadar pelanggaran administratif. Ia diangkat menjadi perbuatan jahat, bagian dari kejahatan, bahkan dianggap subversif. Berjudi sama dengan mencuri, menipu dan korupsi. Berjudi adalah perbuatan jahat. Di negeri kita seperti itu.

Dahulu, judi boleh ada, asalkan sesuai aturan. Di Bali misalnya, ada tajen terang—sabung ayam yang diizinkan, masuk dengan karcis resmi. Yang tidak berizin disebut berandangan—dan jika ketahuan, penindakan bukan karena berjudi, tetapi karena melanggar izin.

Begitu pula SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah), semacam lotre yang pernah dilegalkan. Namun, ketika SDSB dianggap judi, ia pun dilarang. Hilangnya SDSB melahirkan Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan), dan ketika Porkas pun dianggap judi, ia ikut dihapuskan. Sekarang muncul togel (toto gelap). Gelap yang terang. Dikatakan begitu, walau pemasangnya terang-terangan berani masang walau tak tahu diundi di mana, siapa yang mengundu dan sebagainya.

Judi memang paradoks. Ia dilarang karena dianggap kejahatan, tetapi kenyataannya ada di mana-mana.

Lihatlah di Bali, di jalan-jalan besar berdiri wantilan megah untuk tajen. Tajen tidak bisa dihentikan karena sudah berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat.

Justru ketika judi dilarang keras, praktiknya makin marak di bawah bayang-bayang perlindungan mereka yang “membolehkan”.

Tak ada larangan yang sepenuhnya bisa membunuhnya, karena di balik larangan, ada keuntungan. Istilahnya, “cuk”—komisi dalam tajen—mengalir dari satu tangan ke tangan lain.

Tak hanya di Bali, Lombok pun serupa. Di sana tajen dikenal sebagai gocekan, dan hampir setiap hari ada gocekan. Kadang reda sebentar, lalu marak kembali. Seolah-olah judi tak bisa benar-benar dimusnahkan.

Lalu, apakah judi benar-benar jahat?

Dalam keyakinan yang berbeda, jawabannya pun berbeda. Dalam ajaran Hindu, judi bukan perbuatan jahat dalam arti mutlak. Ia bebas nilai—bisa baik atau buruk tergantung sudut pandang.

Namun, agama tetap mengajarkan untuk menjauhi judi dan perjudian. Itihasa Mahabharata menggambarkan bagaimana Pandawa yang sakti akhirnya kalah berjudi melawan Korawa, hingga mempertaruhkan kerajaan dan istri mereka, Drupadi.

Pesan dari kisah itu jelas: jangan berjudi, karena judi bisa menghancurkan kehormatan, kekayaan, bahkan negara.

Tetapi, apakah berarti judi tak bisa menjadi sekadar hiburan?

Di banyak negara, judi dilegalkan dan diatur. Makau, Genting Highlands, bahkan Singapura memiliki sistem lotre dan kasino yang berjalan di bawah regulasi ketat.

Negara-negara ini memahami bahwa judi selalu ada, dan mencoba mengendalikannya dengan aturan yang jelas.

Dahulu, sebelum judi dikategorikan sebagai kejahatan, negeri ini juga mengaturnya. Tetapi kini, ketika judi diberangus total, ia justru bersembunyi dalam bayangan—berjalan di lorong-lorong gelap dengan penjagaan yang lebih rumit.

Maka, paradoks judi di negeri ini terus berlanjut. Dilarang, tetapi ada. Tidak dibolehkan tetapi dimainkan. Dijadikan musuh, tetapi dipelihara oleh tangan-tangan yang tak terlihat.

Pertanyaannya: apakah benar judi adalah kejahatan, atau justru cara kita menyikapinya yang menjadikannya kejahatan? (*)

Denpasar, 15 Maret 2025

Berita Terkait