Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Ente pasti ada nengok, oknum Ormas mensegel sebuah pabrik, gara-gara tak dikasih THR. Ini yang namanya “perang suci” mendapatkan THR jelang lebaran. Sambil menunggu beduk magrib, mari kita kupas episode ini.
Lebaran tinggal hitungan hari. Di langit, awan-awan berarak damai. Burung-burung berkicau syahdu. Tapi di bumi? Chaos. Masyarakat terbelah menjadi dua golongan besar. Yang sudah dapat THR? Senyum lebar, mental stabil. Yang belum? Muka kusut, hati was-was, dompet sekarat.
Di pabrik-pabrik dan kantor-kantor, tensi meningkat. Satpam mulai pasang wajah waspada. Para oknum ormas datang dengan langkah tegas. Awalnya santun, “Pak, ada THR buat kami?” Begitu amplop yang diterima cuma cukup buat beli nasi bungkus, mode barbar langsung aktif. Nada suara naik 300%, urat leher menegang seperti tali jemuran. Jika tidak segera ditangani, pintu pabrik bisa berubah jadi monumen penyegelan massal.
Yang lebih menegangkan, ada ormas yang bawa spanduk: “THR Harga Mati!” Seakan memperjuangkan kemerdekaan ekonomi. Kalau permintaan tidak dipenuhi? Besoknya pabrik dikelilingi mobil bak terbuka berisi massa dengan atribut mirip tentara Rusia. Pekerja yang tadinya santai ngopi, mendadak mules.
Wartawan, sang penjaga kebenaran, juga terkena virus THR. Lebih tepatnya, oknum wartawan. Beberapa mendadak jadi tim proposal. Proposal datang ke perusahaan-perusahaan, lengkap dengan kop surat organisasi dan tanda tangan mirip hasil latihan coret-coret di kertas bekas. “Untuk kesejahteraan anggota kami,” katanya. Tapi kita semua tahu, kesejahteraan ini meliputi upgrade handphone, motor baru, dan kalau beruntung mudik dengan pesawat business class.
Beberapa wartawan mengadopsi taktik ninja. Datang ke kantor perusahaan dengan niat mulia: wawancara. Tapi di akhir perbincangan, tiba-tiba ada kalimat sakti: “Jadi bagaimana, Pak, soal THR teman-teman media?” Kalau tidak dikasih? Besoknya muncul headline: “Perusahaan Raksasa Tidak Peduli Jurnalis, Ini Faktanya!”
Oknum aparat punya taktik tersendiri. Tidak barbar. Tidak terang-terangan. Tapi lembut seperti belaian angin senja. Modusnya? Telepon dulu. “Pak, bisnis aman? Anak buah saya banyak nih, pengamanan lebaran perlu dukungan.” Dalam bahasa hukum, ini disebut ‘kode keras.’ Terjemahannya? “Mau bisnis Anda tetap tentram? Jangan lupa bagi rezeki.”
Yang lebih ajaib, ada yang tiba-tiba muncul ke perusahaan untuk “silaturahmi.” Duduk di ruang tamu, ngobrol ngalor-ngidul soal Ramadan. Lalu dengan santai berkata, “Pak, ada bingkisan lebaran nggak? Anak-anak di kantor banyak nih.” Bingkisan? Yang dimaksud tentu bukan parcel biskuit kaleng. Minimal amplop tebal berisi uang. Kalau tidak? Tunggu saja razia mendadak.
Oknum wakil rakyat lebih kreatif. Tiba-tiba ada undangan buka puasa bersama. Lokasi? Hotel bintang lima. Siapa yang membiayai? Sudah pasti bukan dari kantong pribadi. Di sela-sela makan, ada bisikan: “Pak Dirut, lebaran nih, kita nggak boleh lupa berbagi rezeki.” Tentu berbagi dalam skala yang sangat “wakil rakyat.”
Puncak kekacauan dimulai. Para pengusaha mendadak hilang. Hp mati. Nomor baru. Asisten pribadi mendadak amnesia. “Maaf, Pak sedang meeting di dimensi lain.” Ada yang lebih ekstrem: kabur ke luar negeri. Ke mana? Tidak penting. Yang penting jauh dari jangkauan tangan-tangan yang lapar THR. “Pak, kenapa ke Antartika?” “Di sini aman. Nggak ada ormas, nggak ada proposal. Cuma ada pinguin.”
Di kalangan pengusaha, ada fenomena “silent mode.” Yang biasanya aktif di grup WhatsApp mendadak sunyi. Biasanya suka posting motivasi bisnis, sekarang posting foto pemandangan tanpa caption. Itu kode bahwa mereka dalam mode persembunyian.
Tapi, mari jujur. THR ini punya kekuatan mistis. Masuk rekening pagi, hilang siang. Tidak jelas ke mana. Dulu rencana beli emas, sekarang tinggal cukup buat bayar parkir. Satu detik merasa kaya, detik berikutnya sadar bahwa kemiskinan kembali merangkul dengan hangat.
Istri pasang wajah manis, “Mas, THR-nya sudah cair kan?” Anak-anak ikut bersorak, “Ayah, beli mainan ya!” Lalu datang WhatsApp dari saudara jauh yang biasanya cuma muncul setahun sekali, “Bang, maaf ganggu, boleh pinjam dulu THR-nya? Lagi butuh banget.”
THR bukan hanya tunjangan. THR adalah ujian iman. Ujian kesabaran. Ujian daya tahan dompet.
Kalau bos ente sulit dihubungi minggu-minggu ini, jangan kaget. Dia bukan sibuk rapat. Dia sedang menyusun strategi bertahan hidup dari tsunami THR. Para satpam siap dengan jurus silat. Para ormas menyiapkan spanduk dan massa. Oknum wartawan sudah pegang headline ancaman. Oknum aparat menunggu kode transfer. Wakil rakyat? Ah, mereka sudah siap dengan pidato panjang kalau anggaran “tidak disalurkan dengan baik.”
Selamat Lebaran, semoga kita semua tetap waras. (*)
#camanewak