Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

#KaburAjaDulu: Mimpi, Realita dan Pejabat yang Tutup Mata

February 21, 2025 09:03
IMG-20250221-WA0007

Ilustrasi : AI/ Dwi Sutarjantono
Penulis : Dwi Sutarjantono *)

HATIPENA.COM – Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai berseliweran di media sosial. Bagi sebagian orang, ini lebih dari sekadar candaan. Ia adalah bisikan hati, keluhan tertahan, dan mimpi untuk keluar dari “sumur kering” yang makin lama terasa pengap.

Sebagian berandai-andai tentang negeri asing yang lebih tertata, udara lebih bersih, dan penguasa yang lebih berpihak kepada rakyat. Mereka membayangkan hidup di tempat di mana aturan ditegakkan tanpa pandang bulu dan harga kebutuhan pokok tidak seperti wahana rollercoaster yang naik turun sesuka hati.

Kita sering mendengar pepatah lama, “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri.” Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah hujan petir kebijakan yang membuat rakyat terpaksa berteduh ke negeri asing?

Kita terbuai dengan kisah sukses ekspatriat, tetapi jarang mendengar kisah mereka yang terjebak dalam birokrasi yang dingin, tersisih dalam persaingan global, atau sekadar rindu makan pecel lele di pinggir jalan tanpa harus menjual ginjal.

Di luar negeri, hidup bukan sekadar menikmati keindahan kota yang tertata atau sistem transportasi yang nyaman. Ada realitas yang tidak tertangkap dalam lensa media sosial: rindu keluarga yang tak kunjung reda, sulitnya menemukan tempat ibadah yang nyaman jika agama kita minoritas, atau bahkan tekanan sosial karena dianggap ‘orang luar’ selamanya.

Saya pernah waktu di Paris, dan untuk sekadar mengurus kartu SIM saja harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer. Di sini? Tukang pulsa di warung depan rumah bisa sekalian ganti casing HP. Di sini, lapar tinggal go-food merem banyak pilihan. Di sana? Keluar rumah saja bisa berjam-jam hanya untuk cari makanan (saya muslim) .

Jadi, apakah kita benar-benar ingin pindah karena mengejar mimpi, atau sebenarnya hanya ingin lari dari kenyataan?

Bagi kita sebagai individu, #KaburAjaDulu bisa jadi hanya bentuk pelarian sesaat dari penatnya hidup. Namun, bagi para pemimpin negeri, ini adalah sirine tanda bahaya yang seharusnya tak bisa diabaikan.

Jika rakyat mulai bercita-cita meninggalkan tanah air bukan karena ingin berkembang, tetapi karena sudah tak tahan, ada yang salah. Ini bukan sekadar tren media sosial yang bisa didiamkan seperti berita basi. Ini adalah gelombang kegelisahan yang jika terus dibiarkan, bisa berubah menjadi tsunami ketidakpercayaan. Ketika rakyat sudah bicara dengan tagar, artinya mereka merasa suaranya tak didengar.

Tapi sayangnya, sering kali para pejabat justru lebih sibuk menari di panggung politik, menutup mata terhadap keluhan yang datang. Seakan semua baik-baik saja, seakan negeri ini masih nyaman ditinggali tanpa ada suara putus asa di lini masa.

Jika para pemimpin lebih sibuk membangun citra daripada membangun kepercayaan, jangan salahkan rakyat jika mereka mencari tempat yang lebih bisa memberi harapan.

Di tengah semua kegelisahan ini, pertanyaannya bukan hanya apakah kita ingin pergi atau bertahan. Tapi lebih dalam lagi: Apakah kita hanya ingin menghindar, atau justru berkontribusi untuk memperbaiki keadaan?

Bagi yang ingin hijrah ke luar negeri demi masa depan yang lebih baik, silakan. Itu hak masing-masing individu. Tapi sebelum benar-benar berkemas, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya benar-benar mencari peluang, atau sekadar kabur dari kenyataan?”

Bagi para pemimpin negeri, ini saatnya membuktikan bahwa tanah air ini masih layak diperjuangkan. Jika semakin banyak rakyat yang ingin pergi, jangan salahkan mereka karena kehilangan harapan. Salahkan diri sendiri karena gagal membuat mereka ingin bertahan.

Jadi, masih ingin #KaburAjaDulu, atau malah mau coba membuat negeri ini lebih baik? Eh tapii kalau mau kabur untuk healing ajak-ajak saya ya….! (*)

*) Penulis/Mind Programmer/ Sekretaris Satupena DKI Jakarta