Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Kata di Ruang Publik

May 25, 2025 07:18
IMG-20250525-WA0016

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Kita hidup dalam dunia paradoks. Dunia di mana kata-kata tak hanya menyampaikan makna, tapi juga memuat kuasa.

Kata-kata yang kita ucapkan, kita tulis, seringkali membawa serta posisi: siapa yang me, siapa yang di.

Kata-kata seperti membina, menyuluh, menatar, mengajar, menggurui, melatih, mengayomi, melindungi—kata-kata ini akrab, bahkan mulia bagi birokrasi dan kurikulum, tapi dalamnya mengandung strata.

Ada yang memberi, ada yang menerima. Ada yang mengatur, ada yang diatur. Ada yang tahu, dan ada yang ditaruh di posisi tidak tahu.

Mari kita lihat: membina—ada yang membina, ada yang dibina. Yang membina tentu lebih “jadi”, lebih “benar”, lebih “tahu”. Yang dibina? Objek. Yang diberi bentuk, arah, bahkan kadang batas.

Begitu pula menyuluh, mengajar, menatar. Semuanya menempatkan sang me sebagai mercusuar dan sang di sebagai laut gelap yang perlu dipandu.

Dan kita—netizen, warganet, penghuni dunia maya—adakah pantas membawa kata-kata seperti itu ke ruang publik yang cair dan egaliter?

Media sosial bukanlah podium resmi, bukan kelas dengan meja dan kursi yang menghadap ke depan.

Di sini, siapa pun bisa bicara, siapa pun bisa belajar. Maka ketika seseorang berkata “Saya hanya ingin menyuluh kalian”, tidakkah ia—tanpa sadar—menempatkan dirinya di atas? Menyuluh siapa? Siapa yang gelap? Siapa yang terang?

Di ruang sosial digital, peran itu cair. Guru bisa jadi murid. Murid bisa jadi guru. Seorang jenderal bisa belajar dari petani. Seorang pejabat bisa mendengar wejangan dari seorang warganet biasa.

Bahkan sang pemuka adat bisa belajar etika publik dari anak muda yang baru belajar demokrasi.

Maka komunikasi yang menjunjung hierarki, yang mengandung aroma kuasa, menjadi usang. Terlalu berat, terlalu kaku untuk ruang yang lepas dan bebas.

Kita butuh kata baru, atau setidaknya pendekatan baru: bukan menyuluh, tapi berbagi cahaya. Bukan membina, tapi bertukar makna. Bukan mengajar, tapi belajar bersama. Bukan menatar, tapi meniti pemahaman.

Di sini, bukan siapa yang paling tahu, tapi siapa yang mau saling tahu.

Komunikasi publik harus digeser dari pola vertikal menjadi horizontal. Bukan instruksi, melainkan diskusi. Bukan ceramah, tapi percakapan.

Karena benar bahwa seorang guru tetap guru di kelasnya, tapi di luar ia sama: manusia yang bisa lupa, bisa salah, bisa belajar.

Maka, sebelum mengetik dan menekan tombol kirim, mari kita tanyakan pada diri: apakah kata-kata ini menempatkanku sebagai me yang mengatur di? Atau sebagai kita yang sedang bersama-sama merangkai terang?

Karena di dunia yang penuh paradoks ini, kadang diam lebih bijak dari menggurui, dan kadang bertanya lebih dalam dari memberi jawaban. (*)

Denpasar, 25 – 5 – 25