Kaum Terdidik Nahdlatul Ulama
Oleh: Wahyu Iryana | Penulis
Dosen UIN Raden Intan Lampung
HATIPENA.COM – Dalam sejarah panjang perjalanan Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) bukan hanya dikenal sebagai organisasi keagamaan terbesar di tanah air, tetapi juga sebagai pusat lahirnya kaum terdidik yang berdaya dan berperan besar dalam pembangunan bangsa. Sejak berdiri pada tahun 1926, NU telah menjadi wadah pengkaderan ulama, intelektual, dan negarawan yang memadukan kecerdasan spiritual, keilmuan, dan kepekaan sosial. Mereka tumbuh di pesantren dan madrasah, lalu mengabdi di ranah publik, menjembatani nilai-nilai Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Kaum terdidik NU telah mengisi hampir seluruh jenjang kepemimpinan di negeri ini dari presiden, wakil presiden, menteri, hingga kepala daerah. Keberadaan mereka menunjukkan bahwa tradisi pesantren tidak menutup diri dari dunia modern, melainkan menjadi sumber nilai dan etika dalam tata kelola pemerintahan. Melalui pendidikan yang berbasis adab, ilmu, dan khidmah, NU melahirkan pemimpin yang memimpin dengan hati, berfikir dengan nurani, dan bekerja dengan niat ibadah.
Dalam lintasan sejarah, peran kaum terdidik NU pertama kali terlihat dari sosok KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan penggerak Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Beliau bukan hanya ulama besar, tetapi juga tokoh persatuan umat Islam di masa penjajahan. KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hanya urusan politik, melainkan bagian dari kewajiban agama. Melalui pesantren Tebuireng, ia menanamkan pentingnya ilmu dan perjuangan. Bagi beliau, ulama dan santri tidak boleh hanya berdiri di menara doa, tetapi juga harus turun ke gelanggang masyarakat.
Dari semangat KH. Hasyim Asy’ari inilah lahir generasi penerus yang membawa gagasan modernisasi dalam pendidikan dan kebangsaan. Salah satu tokoh sentralnya adalah KH. Wahid Hasyim, putra beliau yang menjadi Menteri Agama dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). KH. Wahid Hasyim memainkan peran penting dalam merumuskan dasar negara dan hubungan Islam dengan Pancasila. Ia dikenal sebagai pelopor modernisasi pendidikan pesantren, memperkenalkan kurikulum yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum. Langkah tersebut melahirkan generasi santri yang mampu berkompetisi di dunia modern tanpa kehilangan akar spiritualnya. Pemikiran KH. Wahid Hasyim membuka jalan bagi santri untuk tampil di ruang-ruang publik dan pemerintahan.
Kiprah kaum terdidik NU semakin kuat dengan hadirnya KH. Idham Chalid, ulama besar sekaligus negarawan yang memimpin PBNU selama dua dekade. Beliau menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri serta Ketua DPR/MPR RI pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. KH. Idham Chalid adalah sosok yang mampu memadukan kecerdasan politik dan kebijaksanaan pesantren. Ia menjadi contoh nyata bahwa ulama bisa berpolitik dengan etika, menjalankan amanah dengan kesederhanaan, dan menjaga persatuan di tengah perbedaan. Kepemimpinannya membuktikan bahwa kaum terdidik NU mampu mengisi posisi strategis tanpa kehilangan karakter moralnya.
Puncak peran kaum terdidik NU dalam panggung nasional terlihat ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Gus Dur adalah simbol kaum terdidik NU yang berwawasan global, terbuka, dan humanis. Ia dibesarkan di pesantren, belajar di Timur Tengah dan Eropa, lalu kembali ke tanah air membawa semangat Islam yang inklusif. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia melihat wajah Islam yang damai, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Gus Dur dikenal sebagai “Bapak Pluralisme” yang berani melindungi minoritas, membela demokrasi, dan menegakkan hak asasi manusia.
Bagi Gus Dur, politik bukan alat untuk kekuasaan, melainkan sarana ibadah sosial. Ia mengajarkan bahwa menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan bagi rakyat. Gagasannya tentang “Islam ramah, bukan marah” menjadi warisan intelektual yang terus dihidupkan oleh generasi muda NU. Dalam sosok Gus Dur, kaum terdidik NU mencapai puncak tertingginya: seorang santri yang menjadi presiden, seorang ulama yang menjadi negarawan dunia.
Setelah era Gus Dur, estafet kepemimpinan kaum terdidik NU berlanjut dalam wajah yang beragam. Salah satunya adalah KH. Ma’ruf Amin, ulama sepuh yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Beliau adalah tokoh fiqih, ekonomi syariah, dan kebijakan publik yang menjadi simbol keberlanjutan peran ulama dalam pemerintahan. Sebelum menjadi wakil presiden, KH. Ma’ruf Amin memimpin Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia, memperjuangkan sistem ekonomi Islam yang berkeadilan. Ia menunjukkan bahwa kaum terdidik NU mampu berkontribusi dalam pembangunan ekonomi dan kebijakan publik tanpa kehilangan ruh keulamaan. Dalam setiap kebijakannya, KH. Ma’ruf Amin membawa pesan agar pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan materi, tetapi juga keseimbangan moral dan sosial.
Tokoh penting lainnya adalah Hamzah Haz, Wakil Presiden Republik Indonesia pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia merupakan politisi santri yang memulai karier dari bawah hingga mencapai puncak pemerintahan. Hamzah Haz dikenal sederhana, teguh dalam prinsip, dan mampu menjaga stabilitas politik nasional pada masa yang sulit. Kepemimpinannya mencerminkan karakter khas NU tenang, bijak, dan selalu mengedepankan musyawarah. Ia membuktikan bahwa nilai-nilai pesantren dapat diterapkan dalam politik nasional tanpa kehilangan idealisme.
Dari kalangan generasi muda, muncul nama Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin), Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah mendapat Wakil Ketua DPR RI dan sekarang di era Pemerintahan Presiden Prabowo menjabat Menteri Kordinator Pemberdayaan Masyarakat.
Gus Muhaimin merupakan representasi kaum terdidik NU kontemporer yang membawa semangat santri ke dalam politik modern. Ia melanjutkan cita-cita Gus Dur dengan menjadikan politik sebagai ruang pengabdian untuk masyarakat kecil. Melalui kebijakan-kebijakan pro-rakyat, pemberdayaan desa, dan penguatan pendidikan pesantren, Gus Muhaimin menunjukkan bahwa generasi muda NU tidak hanya mewarisi nama besar, tetapi juga melanjutkan perjuangan dengan gagasan yang relevan dengan zaman.
Selain para tokoh laki-laki, kaum perempuan NU juga memiliki peran penting dalam panggung kepemimpinan nasional. Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur, adalah contoh nyata kader perempuan NU yang berhasil membawa nilai-nilai keislaman dan keibuan dalam pemerintahan. Sebelum menjadi gubernur, ia menjabat sebagai Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan. Khofifah merupakan Ketua Umum Muslimat NU, organisasi perempuan terbesar di Indonesia, yang aktif menggerakkan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi keluarga. Kepemimpinannya menunjukkan bahwa perempuan NU bukan hanya pendamping, tetapi juga pemimpin yang tangguh, visioner, dan penuh kasih terhadap rakyatnya.
Kaum terdidik NU memiliki karakter khas yang membedakannya dari kelompok intelektual lainnya. Mereka memandang ilmu sebagai jalan pengabdian, bukan alat pencitraan. Mereka menjunjung tinggi nilai tawadhu’ (kerendahan hati) dan ikhlas dalam melayani masyarakat. Tradisi pesantren yang menekankan pentingnya adab dan hormat kepada guru membentuk kepribadian yang santun dan bijaksana. Dalam pandangan kaum terdidik NU, kekuasaan hanyalah titipan, sementara tanggung jawab moral kepada rakyat dan Tuhan jauh lebih utama.
Di bidang sosial, kaum terdidik NU aktif mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan dan sosial seperti LP Ma’arif, LAZISNU, dan Pergunu. Melalui lembaga-lembaga ini, mereka meningkatkan kualitas pendidikan, distribusi kesejahteraan, dan kemandirian ekonomi umat.
Di bidang politik, mereka menjaga agar demokrasi tetap berakar pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Di bidang agama, mereka menjadi benteng Islam moderat yang menolak ekstremisme dan intoleransi. Kaum terdidik NU memahami bahwa kekuatan Islam tidak terletak pada kekerasan, melainkan pada kasih sayang dan kebijaksanaan.
Tantangan ke depan bagi kaum terdidik NU adalah menjaga semangat keulamaan di tengah arus modernisasi dan digitalisasi. Dunia berubah cepat, tetapi nilai-nilai pesantren tetap relevan. Generasi muda NU harus mampu memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk memperluas dakwah, memperkuat ekonomi umat, dan menjaga keutuhan bangsa. Regenerasi kepemimpinan menjadi penting agar nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin terus hidup dalam setiap kebijakan dan tindakan.
Kaum terdidik NU adalah pilar moral dan intelektual bangsa. Dari KH. Hasyim Asy’ari hingga KH. Ma’ruf Amin, dari KH. Wahid Hasyim hingga Gus Muhaimin Iskandar, dari pesantren Tebuireng hingga Istana Negara, mereka telah membuktikan bahwa tradisi santri dapat melahirkan pemimpin yang mencerahkan. Mereka adalah pelita di tengah kegelapan, jembatan antara agama dan negara, antara ilmu dan amal, antara rakyat dan penguasa.
Sebagaimana pesan KH. Hasyim Asy’ari, “Ilmu yang tidak diamalkan adalah kesia-siaan.” Maka kaum terdidik NU selalu berpegang pada prinsip: belajar untuk berkhidmah, berkhidmah untuk mengabdi, dan mengabdi untuk menebar rahmat bagi seluruh umat. Di tangan merekalah harapan Indonesia tetap menyala menjadi bangsa yang beriman, berilmu, dan berkeadaban. (*)
H. Wahyu Iryana merupakan penulis Buku Sejarah Pergerakan Nasional; Kiprah Kaum Santri dalam Mempertahankan NKRI.