Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kearifan Minangkabau dan Demokrasi Deliberatif

February 22, 2025 17:18
IMG-20250222-WA0002

Oleh: Bagindo M.Ishak Fahmi

Kaba “Catuih Ambuih”

HATIPENA.COM – Dalam kearifan Minangkabau, terdapat ungkapan yang telah lama tumbuh dan digunakan dalam merumuskan aturan: “Nan adaik laku, nan laku tabali, nan tabali tajua, lamak dek awak katuju dek urang, bana di atehnyo.” Maknanya mendalam—sebuah aturan harus memiliki implementasi yang jelas, diterima oleh masyarakat, dipahami dan dijalankan dengan kepastian, serta membawa manfaat bagi semua. Selain itu, aturan harus didasari oleh nilai-nilai spiritual yang mampu menghadirkan keadilan.

Dalam konteks demokrasi dan kebijakan publik hari ini, seringkali aturan yang dibuat jauh dari semangat “lamak dek awak katuju dek urang”—aturan yang seharusnya menguntungkan semua pihak. Justru, banyak kebijakan yang tampak dibuat secara sepihak, mengabaikan keterlibatan masyarakat, dan mengesampingkan prinsip keadilan sosial.

Akibatnya, terjadi penolakan, protes, dan keresahan publik, yang bukan merupakan gangguan terhadap ketertiban, melainkan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Ditambah lagi, miskomunikasi antar lembaga sering kali menimbulkan kebingungan serta perbedaan interpretasi di antara para pejabat negara, yang semakin memperburuk situasi.

Protes sebagai Bentuk Kecintaan terhadap Negara

Dalam tradisi Minangkabau, ada ungkapan lain yang sejalan dengan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan: “Rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah.” Ungkapan ini mencerminkan prinsip bahwa pemimpin yang adil akan dihormati, sementara pemimpin yang sewenang-wenang akan mendapatkan perlawanan.

Hal ini sejalan dengan pemikiran John Lewis, seorang aktivis hak sipil, yang menyatakan bahwa “Protes bukanlah gangguan terhadap perdamaian, tetapi ketidakadilan, korupsi, dan intimidasilah yang merusak perdamaian.”

Ketika mahasiswa, masyarakat sipil, dan berbagai elemen bangsa mengkritik kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, mereka bukanlah perusuh, melainkan bagian dari demokrasi deliberatif yang sehat.

Deliberasi adalah proses diskusi dan pertimbangan yang mendalam dalam pengambilan keputusan, di mana berbagai pandangan dipertukarkan secara rasional dan terbuka untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkualitas.

Dalam konteks demokrasi deliberatif, deliberasi menekankan partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan dengan berbasis pada argumentasi yang jujur, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan. Dalam konteks pemikiran Minangkabau ” kok picak lah buliah dilayangkan, kok bulek lah buliah digolongkan” .

Jürgen Habermas (1984), dalam teori tindakan komunikatifnya, menekankan bahwa demokrasi yang sehat harus membuka ruang bagi diskusi dan deliberasi publik. Dalam hal ini, protes adalah bentuk komunikasi politik yang sah dan bagian dari mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi.

Amy Gutmann dan Dennis Thompson (1996) menekankan bahwa deliberasi publik yang baik harus berbasis pada tiga prinsip utama:

  1. Keterbukaan (Reciprocity) – Pemerintah harus membuka ruang diskusi yang inklusif.
  2. Kesetaraan (Publicity) – Semua pihak memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat.
  3. Akuntabilitas (Accountability) – Setiap keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan.

Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, aturan yang dibuat menjadi tidak jelas, tidak berpihak kepada masyarakat, dan memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat yang bingung dan merasa tidak didengar akhirnya menggunakan protes sebagai sarana menyalurkan aspirasi.

Membangun Kebijakan Berbasis Partisipasi

Agar aturan dan kebijakan memiliki legitimasi, harus ada partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses perumusannya. Demokrasi bukan sekadar mekanisme pemungutan suara, tetapi juga melibatkan dialog, musyawarah, dan pertimbangan bersama.

James Fishkin (2009), dalam konsep Deliberative Polling, menegaskan bahwa keterlibatan warga dalam perumusan kebijakan akan meningkatkan kualitas keputusan yang dibuat. Jika aturan tidak dibuat secara partisipatif, maka kebijakan yang dihasilkan rentan terhadap penolakan dan krisis legitimasi.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, penting untuk memahami bahwa protes bukan sekadar bentuk ketidakpuasan, tetapi merupakan mekanisme untuk menjaga keadilan.

Sebagaimana nilai-nilai Minangkabau mengajarkan keseimbangan dalam setiap aturan, begitu pula dalam kebijakan publik—harus berlandaskan musyawarah, keadilan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat.

Sebab, hanya dengan demikian, sebuah aturan dapat mencapai prinsip “lamak dek awak, katuju dek urang, bana di atehnyo.” (*)

Padang, 22 Februari 2025