Oleh ReO Fiksiwan
“Penyembuhan jiwa dimulai ketika seseorang mampu melihat luka batinnya sebagai jalan menuju makna, bukan sebagai kutukan.” — Nezvat Tarhan (78), Terapi Masnawi (2016).
HATIPENA.COM – Merujuk pada lanskap psiko-politik Indonesia pasca-reformasi, kita menyaksikan sebuah fenomena yang tak hanya mengganggu stabilitas institusional, tetapi juga meretakkan kesadaran kolektif bangsa.
Sejak 1998, dekontruksi ekososbudpol yang terjadi secara psikis-material telah membuka ruang bagi transformasi radikal, namun tanpa pengokohan institusional yang memadai.
Anthony Giddens (87), dalam The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984;2003), menyebutnya sebagai homologi kognitif: sebuah kondisi di mana struktur sosial dan struktur kesadaran tidak lagi sinkron, menciptakan distorsi dalam cara kita memahami diri sebagai bangsa.
Dalam konteks ini, kebudayaan kita mengalami apa yang dapat disebut sebagai “szikoprenia”—sebuah metafora kritis yang merujuk pada split of personality kolektif, di mana identitas nasional terbelah antara hasrat revolusioner dan regresi dekaden.
Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (2013) menguraikan bagaimana kapitalisme bekerja sebagai mesin hasrat yang mendesak individu dan kolektif ke dalam produksi tanpa akhir, namun sekaligus memfragmentasi subjek menjadi entitas yang terpecah.
Dalam perspektif ini, Indonesia pasca-reformasi bukan hanya mengalami transisi politik, tetapi juga mengalami skizofrenisasi mental: institusi tak mampu menampung intensitas hasrat rakyat, sementara rakyat sendiri terjebak dalam repetisi trauma dan kekacauan.
Korupsi yang masif, pembunuhan yang brutal, dan dekadensi moral bukan sekadar gejala sosial, melainkan ekspresi dari tubuh sosial yang mengalami gangguan psikotik akut.
Erich Fromm (1900-1980) dalam The Anatomy of Human Destructiveness (1973;2000), menyebut kondisi ini sebagai necrophilia sosial—kecenderungan untuk menghancurkan, membusukkan, dan menolak kehidupan sebagai bentuk pelarian dari ketidakberdayaan eksistensial.
Dari perspektif dromologi Paul Virilio (1932-2018), dalam Speed and Politics: An Essay on Dromology (1977), mencontoh pendekatan aktor:
Perjalanan ringkas Jokowi dari Walikota Solo, Gubernur DKI hingga Presiden RI adalah manifestasi dari akselerasi politik yang mengabaikan kedalaman institusional demi kecepatan representasi pada personalitas yang akhirnya terus meresidu masalah fundamental bangsa: insane mentality!
Virilio ikut menegaskan dengan kutipan berikut: “The accident is no longer the exception, it becomes the rule.” Alihbasa: “Kecelakaan bukan lagi pengecualian, melainkan sudah menjadi aturan.”
Tentu, hal ini mencerminkan bagaimana dalam abad kecepatan, percepatan teknologi dan mobilitas tidak hanya mempercepat kehidupan, tetapi juga mempercepat keruntuhan, disorientasi, dan kecelakaan sebagai bagian tak terpisahkan dari kemajuan itu sendiri.
Virilio menekankan bahwa dalam dunia yang dikuasai oleh kecepatan, manusia kehilangan kapasitas untuk refleksi, kedalaman, dan stabilitas. Ia terjebak dalam logika logistik yang menggantikan strategi dan makna.
Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana unitas kebangsaan terpecah (split) secara brutal ke dalam dua arus utama: kampret dan cebong.
Keduanya bukan sekadar simbol politik, melainkan representasi dari kelas “sumbu pendek” yang bereaksi secara impulsif terhadap realitas, tanpa refleksi dan tanpa kapasitas untuk membangun sintesis mentalitas dalam berpikir maupun merasa.
Polarisasi ini bukan hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga memperparah kondisi szikoprenia kebangsaan, di mana setiap narasi politik menjadi medan perang antara paranoia dan delusi.
Fenomena MBG, reformasi institusi Polri, Parpol yang kemaruk dan megakorupsi yang belum tertangani adalah bukti bahwa tubuh institusional kita mengalami kelumpuhan etis akut.
Dalam konteks ini, refleksi spiritual menjadi penting sebagai jalan keluar dari kebuntuan psiko-politik.
Prof. Dr. Nevzat Tarhan dalam Terapi Masnawi menawarkan pendekatan sufistik yang menekankan penyembuhan jiwa melalui cinta, makna, dan koneksi transenden.
Tarhan,masih aktif sebagai psikiater, ahli neuropsikologi, dan tokoh terkemuka dalam bidang kesehatan mental di Turki.
Selain itu, ia merupakan pendiri dan rektor Universitas Üsküdar atau ketua dewan NPİSTANBUL, rumah sakit neuropsikiatri pertama di Turki dan pernah datang ke Bali dalam suatu konferensi internasional neurosains.
Mengacu konsep Tarhan, inti dari terapi Masnawi: bahwa penderitaan bukanlah akhir, melainkan pintu masuk menuju transformasi spiritual.
Tarhan menggabungkan prinsip-prinsip sufistik dari Jalaluddin Rumi dengan psikologi modern, menekankan bahwa cinta, makna, dan koneksi dengan Tuhan adalah elemen kunci dalam pemulihan jiwa yang terluka.
Sementara Prof. Dr. G. Hussein Rassool (68), Profesor Psikologi Islami di Centre for Islamic Studies & Civilisations, Charles Sturt University, Australia, dalam Konseling Islami (2019) menggarisbawahi pentingnya integrasi antara psikologi modern dan nilai-nilai spiritual untuk mengatasi gangguan mental yang bersifat sistemik.
Kedua pendekatan ini membuka ruang bagi rekonstruksi kesadaran kebangsaan yang tidak hanya rasional, tetapi juga spiritual dan etis.
Kebudayaan szikoprenia bukanlah takdir, melainkan panggilan untuk menyembuhkan.
Ia menuntut kita untuk keluar dari jebakan hasrat yang terfragmentasi dan membangun kembali tubuh sosial yang sehat, reflektif, dan berdaya.
Dalam dunia yang terus bermultiflikasi, hanya dengan keberanian untuk menghadapi luka kolektif dan merawatnya dengan cinta, kita bisa kembali menemukan diri sebagai bangsa yang utuh. (*)
#coversongs: “Dancing with the Moonlit Knight”, lagu pembuka dari album Selling England by the Pound milik band progresif rock Inggris, Genesis, yang dirilis pada 28 September 1973.
Lagu ini ditulis oleh Peter Gabriel (75) bersama anggota Genesis lainnya sebagai kritik sosial terhadap kondisi Inggris pada era 1970-an.
Dengan lirik yang penuh metafora dan simbolisme, Gabriel menggambarkan keruntuhan nilai-nilai tradisional Inggris, seperti semangat ksatria, nasionalisme, dan identitas budaya yang mulai terkikis oleh konsumerisme dan modernitas.