Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kembali ke Buku Fisik, Apa Pentingnya?

January 22, 2025 16:55
IMG-20250122-WA0010

Oleh Mila Muzakkar

HATIPENA.COM – Swedia lagi jadi “buah bibir” nih. Bukan karena salah satu warganya bikin konten di depan rumah korban kebakaran Los Angeles, Amerika (ups, ini warga satu negara mana ya?), tapi karena kebijakan baru pemerintahnya yang pengen siswa-siswi di sekolah kembali membaca buku fisik dan menulis dengan pulpen.

Kebijakan ini dibuat setelah 15 tahun loh Swedia mengadopsi strategi pembelajaran digital. Alasannya umum, untuk mempersiapkan anak-anak di Swedia menghadapi dunia digital. Setelah dievaluasi dan disurvey oleh PISA, eh ternyata pembelajaran digital, terutama penggunaan HP, berkorelasi dengan menurunnnya pengetahuan siswa-siswi di sana.

Kok bisa gitu ya? Bukannya kata orang-orang, dunia digital yang serba terbuka ini, menyediakan berlimpah ruah Ilmu dan keterampilan yang bisa diakses siapa aja?

Sensasi Buku Fisik
Beberapa penelitian bilang, buku fisik tuh ngasih kita pengalaman dan pemahaman membaca yang jauh lebih baik, sekitar enam hingga delapan kali lipat dibandingkan dengan buku digital.

Penelitian lain bilang, membalik halaman saat membaca menciptakan “indeks” di otak, memetakan apa yang kita baca secara visual ke halaman tertentu. Bagian ini yang memungkinkan otak untuk menyimpan informasi lebih baik saat membaca dari buku fisik.

Memegang dan mencium aroma buku memang punya sensasi tersendiri. Sambil rebahan, dengerin musik, baca buku, coret spidol warna-warni untuk menandai poin-poin penting di buku itu, ah, asyik banget nggak sih?

Bisa juga pergi ke gunung atau ke pantai. Buka bukunya, nikmati angin segar tanpa polusi, suara air, kicauan burung, desiran ombak, dan tenggelamlah dalam setiap goresan buku itu. Suasana ini membantu banget untuk memahami, membayangkan, dan merefleksikan hasil bacan itu secara mendalam.

Gimana dengan baca buku digital? Membaca buku digital tuh distraksinya tinggi, guys! Mungkin memang kita niat banget baca buku, tapi pas baru baca satu paraprap, tiba-tiba ping, ping, ping, notifikasi masuk. Ada komen, like di medsos, yang memanggil-manggil untuk dicek, atau direspon.

Atau tiba-tiba bunyi ‘Sophee’, kita pun segera membukanya karena penasaran ada diskon apa hari ini di Sophee. Ditraksi-distraksi itu akhirnya menghambat retensi memori. Gimana mau masuk hasil bacannya? Selain itu, terlalu lama depan layar beresiko merusak mata.

Hidupkan Budaya Baca di Rumah
9 Januari Lalu, Hideyoshi Kijaura Demila (Kije), anakku, berulang tahun yang ke 10. Salah satu resolusi-lebih tepatnya peraturan sih- yang kami sepakati adalah Kije wajib membaca buku minimal 2 buku fisik dalam sebulan.

Awalnya, Kije berat. “Loh, kenapa harus baca buku 2 sebulan?” Kan udah belajar di sekolah, udah baca buku juga sebelum tidur malam,” protesnya.

Aku sudah menduga respons Kije yang keberatan. Yah, maklum saja, Kije dan juga anak-anak seusianya, umumnya udah telanjur dekat dengan games di gadget.

Tapi, untuk membangun budaya literasi, kebiasaan baca buku harus terus dihidupkan dan dinyalakan. Dan hari ulang tahun Kije aku “hack” untuk jadi momentum itu. “Kije, makin tambah usia, harus makin pintar dan baik. Jadi, baca bukunya harus nambah,” kataku.

Orang tua di rumah adalah mitra terbaik anak untuk membantu menghidupkan budaya literasi pada anak. Gimana cara menghidupkannya? Kalau aku, bikin peraturan simpel begini: setelah Kije berhasil baca 2 buku, lalu menceritakan isi dan pesan moral di buku itu, maka ia akan mendapatkan apresiasi. Kije boleh memilih bentuk apresiasinya misalnya, nonton teater, nonton film di bioskop, berenang, main di timezone, jalan-jalan ke museum, dan semacamnya. Kuncinya, bentuk apresiasinya sebisa mungkin yang juga edukatif dan bisa membangun bonding dengan orangtua.

Bulan Januari belum juga habis. Tapi Kije sudah membaca 3 buku. Biasanya, ia baca jika ada waktu kosong, atau saat Kije punya “permintaan” tertentu. Dia tahu banget kalau baca buku bisa dijadikan alat supaya permintannya dikabulkan.

Banyak lagi cara lain yang bisa dilakukan orang tua di rumah. Yang penting tujuannya sama, menghidupkan budaya baca buku fisik sejak dini di rumah. Kalau sudah terbiasa, akan menjadi habit, dan akhirnya baca buku menjadi budaya. Kalau budayanya udah terbentuk, pemerintah dan sekolah nggak perlu repot-repot amat bikin program A,B,C, apalagi buang anggaran yang fantastis untuk bangun budaya baca. (*)