Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Tanah Bali, budaya Bali, dan manusia Bali—tiga elemen yang tak bisa dipisahkan.
Tanah Bali tanpa manusia hanyalah hamparan kosong. Manusia Bali tanpa budaya adalah tubuh tanpa jiwa. Budaya tanpa tanah tempat berpijak hanyalah cerita usang yang perlahan dilupakan.
Ketiganya adalah satu kesatuan, utuh, tak terpisahkan.
Namun di sinilah paradoks itu terjadi. Pulau ini berkemilau namun tampak mulai galau.
Pada kawasan-kawasan tertentu, seperti Canggu, Kuta dan kawasan terkemuka, tanah yang dulu menjadi pijakan kini mulai terkikis, tak lagi diwarisi untuk anak cucunya, ada yang disewakan, banyak juga yang dijual demi hotel, bangunan komersial dan vila-vila mewah.
Wajahnya berubah, sawah yang hijau, tempat subak mengalirkan harmoni, berganti menjadi lahan industri. Bahkan pantai yang sakral diubah menjadi pusat hiburan, debur ombaknya tenggelam dalam hiruk-pikuk pesta siang dan malam.
Bahkan nama pantainya pun seenaknya diubah sebagaimana pantai Serangan yang menjadi pantai Kura-kura. Jalan yang sangat terkenal dan diketahui publil sebagai jalan menuju pantai Serangan, dipasang plang Jalan Pantai Kura-kura.
Sementara budaya yang dulu sakral perlahan kehilangan makna. Ritual khusuk, khidmat dan sakral kini bisa dipertontonkan untuk para wisatawan.
Upacara suci pun seakan menjadi atraksi, tari wali, bebali dan bali-balian tidak jelas, sementara maknanya semakin terkikis oleh tuntutan zaman.
Manusia Bali pun banyak yang mulai bergeser. Dari penjaga tradisi menjadi pekerja industri. Dari petani dan seniman yang hidup dalam irama alam, kini menjadi bagian dari mesin ekonomi.
Generasi petani nyaris tak ditemukan lagi. Anak-anak muda Bali jarang yang menekuni dunia pertanian. Kalau toh menjadi petani, penghasilannya tak mencukupi untuk menghidupi anak cucunya.
Akhirnya, banyak di amtara mereka sibuk melayani tamu, menjual eksotisme, menukar warisan dengan keuntungan sesaat.
Bali yang dulu ada untuk dirinya sendiri, kini seakan ada untuk orang lain.
Jika tanah habis terjual dan disewakan, budayanya pudar, dan manusianya kehilangan jati diri—masihkah itu Bali? Atau hanya bayangan dari kejayaan yang perlahan menghilang?
Paradoks ini makin nyata. Jika tak ada yang menghentikannya dengan segera. Garisnya harus tegas; pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata.
Semua harus menggunakan garis pertegas ini. Tak ada tawar-menawar. Pemerintah, pengusaha dan juga masyarakatnya harus hormat pada janji lelangit. Harus ingat dengan bhisama-bhisama.
Sebab, Bali tak akan hilang dalam semalam. Namun jika dibiarkan, jika pura-pura tidak tahu, Bali bisa mati perlahan, bukan karena ditinggalkan, tetapi karena terlalu dieksploitasi.
Denpasar, 31 Januari 2025