HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Ketika Agave Amica Hilang dari Parade Tanpa Ars Aromatum

August 10, 2025 08:20
IMG-20250810-WA0014
  • Hiburan Bagi yang Tak Sempat ke TIFF

Oleh ReO Fiksiwan

HATIPENA.COM – Tomohon, kota yang berdiri anggun di kaki Gunung Lokon dan Mahawu, pernah menjadi tempat di mana keindahan tumbuh dari tanah, bukan dari pabrik.

Di sini, Chrysanthemum indicum (krisan putih) dan Chrysanthemum morifolium (krisan kuning) dulu mekar sebagai lambang musim dan makna, bukan sekadar ornamen parade.

Tapi kini, Agustus 2025, dalam Tomohon International Flower Festival (TIFF) kesekian, bunga-bunga asli itu mungkin digantikan oleh plastik yang tahan hujan tapi tak punya aroma, ars aromatum, yang tak punya sejarah, dan tak berakar dari spirit kulturalnya.

Meski tentu, tak penting untuk membandingkannya Pasadena dengan sedikit cuplikan sejarahnya:

Festival bunga yang dikenal sebagai Tournament of Roses Parade di Pasadena, California, Amerika Serikat, pertama kali digelar pada 1 Januari 1890.

Acara ini lahir dari gagasan anggota Valley Hunt Club, sebuah komunitas elit Pasadena yang ingin memamerkan iklim hangat California Selatan kepada dunia—sementara wilayah lain di Amerika masih diliputi salju.

Mereka mengadakan parade bunga, lomba berkuda, dan pertunjukan lainnya untuk menunjukkan bahwa bunga bisa mekar di tengah musim dingin.

Tahun berikutnya, parade ini berkembang menjadi tradisi tahunan yang menampilkan kendaraan hias bertabur bunga segar, marching band, dan pasukan berkuda.

Sementara Festival Tomohon sendiri, kota yang berdiri anggun di kaki Gunung Lokon, pernah menjadi tempat di mana keindahan tumbuh dari tanah dan menyebar wangi bunga-bunga dan udara segar pegunungan.

Di sini, Chrysanthemum indicum (krisan putih) dan Chrysanthemum morifolium (krisan kuning) dulu mekar sebagai lambang musim dan makna, bukan sekadar ornamen parade.

Festival, TIFF, yang telah masuk kalender pariwisata tahunan Kemenkraf ini seolah lupa bahwa estetika bukan hanya soal warna-warni, tapi juga soal akar budaya .

Parade kendaraan hias lebih menyerupai showroom toko dekorasi, di mana Rosa damascena (mawar), Lilium candidum (lili), dan Dahlia pinnata (dahlia) yang dulu tumbuh di pekarangan warga, kini hanya hadir sebagai imitasi yang tidak mengenal musim.

Bahkan anthurium andraeanum, bunga eksotis yang dulu menjadi kebanggaan rumah kaca lokal, kini hanya menjadi latar panggung yang lebih sibuk dengan tarian yang tidak tahu dari mana asalnya.

Padahal, Tomohon bukan hanya kota bunga. Ia adalah kota ekowisata dan budaya. Terletak pada ketinggian sekitar 900–1100 meter di atas permukaan laut (dpl).

Pun, punya latar geografis dengan sumber mitos dan spiritualitas lokal yang belum sepenuhnya digali dalam festival-festival modern seperti TIFF.

Di kampung-kampung, anyaman bambu masih hidup sebagai industri rumahan. Tangan-tangan tua merangkai bilah bambu menjadi keranjang, tikar, dan hiasan rumah, bukan untuk dijual ke turis, tapi untuk menjaga tradisi.

Rumah-rumah adat kayu berdiri dengan arsitektur khas, di kampung Woloan, yang mengenal angin dan cahaya, bukan sekadar bentuk Instagramable.

Di puncak Tetena, tanaman bunga liar tumbuh tanpa panggung, tanpa sorotan, tapi dengan keindahan yang tak bisa dipalsukan.

Di kampung Saraisong, tradisi Islam hidup dalam nada dan syair. Hadra dan barzanji dilantunkan dalam perayaan dan doa, bukan untuk festival, tapi untuk menghidupkan warisan leluhur Jawa dan Banten yang tiba sekitar abad-19 akhir.

Nyanyian purba seperti kamberu dan maengket masih terdengar di acara adat, membawa gema leluhur yang tidak pernah diundang ke TIFF sebagai latar art performance dari ansambel etnomusik paling harmoni dan pentatonik.

Semua ini adalah warna-warni budaya lokal yang seharusnya menjadi inti dari festival internasional, bukan hanya dekorasi pinggiran.

Ironisnya, satu desa di Tomohon, Rurukan, pernah menjadi tempat persinggahan Alfred Russel Wallace pada tahun 1859. Seorang naturalis dan entolomog asal Inggris dan menginap di Rurukan.

Ia mencatat kekayaan spesies yang luar biasa, menulis tentang biodiversitas Minahasa yang tak kalah dari Amazon.

Tapi TIFF tidak punya ruang untuk Wallace. Ia terlalu ilmiah, terlalu sunyi, dan terlalu nyata untuk festival yang lebih memilih bunga palsu daripada biodiversitas.

Gunung Lokon, raksasa vulkano yang berdiri gagah dan kadang murka menyembur lahar, menjadi latar yang tak pernah benar-benar dimaknai.

Di balik lerengnya, tepatnya, Linow, mitos tentang Dewi Likri, penguasa danau dan pencipta ikan seperti payangka, sogili, kabos, renga dan kolombi dan yang tak pernah disebut.

Dewi makanan, Lingkan Bene yang melahirkan gedi, padi, ubi biru, daun pangi, dan umbi-umbian lainnya, hanya menjadi bayangan di balik panggung yang terlalu sibuk dengan musik elektronik.

TIFF adalah festival yang lupa bahwa bunga bukan sekadar dekorasi, tapi narasi.

Ia lupa bahwa estetika bukan sekadar warna, tapi sejarah yang bertutur.

Ia lupa bahwa Tomohon bukan hanya kota yang bisa dijual, tapi kota yang pernah menumbuhkan keindahan dan jantung spiritualitas.

Modern dengan kekristenan. Tradisional dengan alfuren, ritual foso dan kanaramen.

Kota yang pernah menyekolahkan (HBS), Nani Wartabone, sastrawan HB Jassin, ahli geologi, mantan Dirjen Geologi, Prof. Ario R. Katili, paman dari Kemenkraf, Sandiaga S. Uno, asal Gorontalo.

Dan di tengah parade bunga plastik, mungkin Chrysanthemum indicum masih tumbuh diam-diam di pekarangan oma-oma dan opa-opa, yang tak pernah diajak bicara oleh panitia festival.

Ia mekar tanpa panggung, tanpa sorotan, tapi dengan makna yang tak bisa dipalsukan.

Dan di rumah bambu, di kampung Saraisong, suara kamberu bercampur solawat mungkin masih terasa bergema.

Tapi TIFF tidak mendengarnya. Ia terlalu sibuk dengan glitter tanpa tahu apa ornamen kulturalnya yang otentik.

Sementara, kendaraan hias lebih menyerupai showroom toko dekorasi — di mana Rosa damascena (mawar), Lilium candidum (lili), dan Dahlia pinnata (dahlia) yang dulu tumbuh di pekarangan warga, kini hanya hadir sebagai imitasi yang tidak mengenal musim.

Bahkan Anthurium andraeanum, bunga eksotis yang dulu menjadi kebanggaan rumah kaca lokal, kini hanya menjadi latar panggung yang lebih sibuk dengan tarian yang tidak tahu dari mana asalnya.

Padahal, Tomohon bukan hanya kota bunga. Ia adalah kota budaya. Di kampung-kampung, anyaman bambu masih hidup sebagai industri rumahan.

Tangan-tangan tua merangkai bilah bambu menjadi keranjang, tikar, dan hiasan rumah, bukan untuk dijual ke turis, tapi untuk menjaga tradisi.

Rumah-rumah adat kayu berdiri dengan arsitektur unik yang mengenal angin dan cahaya, bukan sekadar bentuk Instagramable.

Di puncak Tetena, tanaman bunga liar tumbuh tanpa panggung, tanpa sorotan, tapi dengan keindahan yang tak bisa dipalsukan.

Di kampung Saraisong, tradisi Islam hidup dalam nada dan syair.

Hadra, solawat dan barzanji dilantunkan dalam perayaan dan doa, bukan untuk festival, tapi untuk merawat spiritualitas.

Nyanyian purba seperti kamberu, krambang dan maengket masih terdengar di acara adat, membawa gema leluhur yang tidak pernah diundang ke TIFF sebagai ansambel simfoni etnomusik paling khas dan pentatonik

Semua ini adalah warna-warni budaya lokal yang seharusnya menjadi inti dari festival internasional, bukan hanya dekorasi pinggiran.

Ironisnya lagi, mungkin kealpaan Panpel, satu desa di Tomohon, Rurukan, pernah menjadi tempat persinggahan Alfred Russel Wallace pada tahun 1859 (Rujuk: Malay Archipelagonya, 2000).

Ia mencatat kekayaan spesies yang luar biasa, menulis tentang biodiversitas Minahasa yang tak kalah dari Amazon.

Tapi, TIFF tidak punya ruang untuk Wallace, pencetus teori evolusi awal sebelum Darwin dan penemu keragaman hayati di Minahasa.

Ia terlalu ilmiah, terlalu sunyi, dan terlalu nyata untuk festival yang lebih memilih bunga palsu daripada biodiversitas.

Gunung Lokon (1.689 m) dan Gunung Mahawu (1.311 m), menambah keindahan dan kekayaan ekologis wilayahnya yang berdiri gagah dan kadang murka, menjadi latar yang tak pernah benar-benar dimaknai.

Di balik lerengnya, mitos tentang Dewi Likri, penguasa danau dan pencipta ikan seperti payangka, sogili, kabos, renga dan kolombi, tak pernah disebut.

Meski lebih sering alpa, kota Tomohon (Tombulu: puncak pemujaan) bukan hanya kota yang bisa dijual, tapi kota yang pernah menumbuhkan keindahan bercampur spiritualitas.

Ars aromatum bunga-bunganya yang paling indah dan bisa melelehkan kenangan—seperti membuka lemari tua berisi surat cinta yang tak pernah terkirim—mungkin tak sepenuhnya hadir di TIFF — adalah:

Sedap Malam (Agave amica), aromanya kuat, kompleks, dan sensual.

Bunga ini mekar di malam hari, menguar wangi yang menggoda dan melankolis.

Ia seperti parfum kenangan. Bisa mengingatkan pada pesta pernikahan, kamar tidur nenek, atau malam sunyi yang penuh harapan.

Salah satu karya legendaris dalam musik pop Indonesia, Bunga Sedap Malam (1981) dilantunkan Iis Sugianto, lirik Rinto Harahap:

„Memang aku bunga yang sedang bersemi, tapi bukan bunga sedap malam…”

Sejak abad ke-17, sedap malam telah digunakan dalam parfum dan dekorasi, karena aromanya bisa mengisi ruangan dengan nostalgia.

Melati (Jasminum sambac), primadona harum di Asia Tenggara.

Komposisi lagunya bisa dinikmati sebagai metafora Melati Suci dari gubahan Guruh Sukarnoputra (73) pada ibunya, Bu Fatmawati, penjahit bendera merah putih.

Wangi manis dan menyegarkan dari melati sering dijadikan bahan teh dan minyak esensial.

Aromanya lembut tapi tajam, seperti bisikan masa kecil di halaman rumah.

Melati adalah bunga yang tidak hanya wangi, tapi juga spiritual.

Gardenia (Gardenia jasminoides) sebagai ars aromatim segar, feminin, dan woody.

Gardenia menguar wangi seperti rumput yang baru dipotong, bercampur dengan bunga tropis.

Ia adalah aroma sore hari yang tenang, seperti duduk di beranda sambil mengenang seseorang yang pernah singgah. Tentu, ada hotel dan resto tradisional di sana dengan nama: Gardenia.

Konon, Presiden ketiga, KH. Abdurahman Wahid alias Gus Dur pernah singgah di situ dengan kopiah karanji kerajinan tangan asal Gorontalo.

Lavender (Lavandula angustifolia).
Wangi floral yang ringan dan segar, cocok untuk menenangkan pikiran. Lavender bukan hanya harum, tapi juga terapeutik.

Aromanya seperti pelukan lembut dari masa lalu yang tidak menyakitkan, hanya menghangatkan.

Wisteria (Wisteria floribunda).
Di Jepang, wisteria adalah lambang musim semi dan cinta yang bertahan.

Ars Aromatumnya manis dan musky, seperti surat cinta yang ditulis dengan tinta ungu. Ia merambat di dinding kenangan, mekar pelan-pelan di hati.

Kenanga (Cananga odorata).
Bunga beraroma kuat dan eksotis, digunakan dalam ritual dan parfum tradisional.

Kenanga memiliki daya pikat aromatik yang bisa menyamai wisteria dalam konteks budaya tropis.

Jika TIFF ingin benar-benar menyentuh jiwa pengunjung, bunga-bunga ini seharusnya menjadi pusat perayaan.

Tapi sayangnya, yang dipilih mungkin tak seluruhnya alami. Mungkin tak pernah mekar, tak pernah layu, dan tak pernah mengingat. Kecuali, sebagai lagu Gadis Plastik dari Harry Roesly:

“Hidup-hidup ini. Seperti rumput mati,“ tutur liriknya. (*)