Ciloteh “Catuih Ambuih”
Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
HATIPENA.COM – Mobilitas seharusnya menjadi hak dasar warga negara. Namun di negeri sendiri hari ini, berpindah tempat tak lagi semudah itu. Ia telah berubah menjadi cermin ketimpangan, absurditas harga, dan ujian terhadap keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Di tengah naiknya ongkos hidup, biaya transportasi publik justru melonjak, menjadikan perjalanan antarkota sebagai kemewahan baru yang tidak semua orang bisa nikmati.
Fenomena ini terlihat jelas pada transportasi udara. Dahulu, pesawat domestik menjadi primadona karena selisih harganya yang tidak jauh dengan moda darat. Kini, harga tiket rute seperti Padang–Jakarta bisa menembus Rp 2 juta untuk sekali jalan. Ironisnya, dengan harga serupa, seseorang bisa mendapatkan tiket pulang-pergi ke Kuala Lumpur, bahkan disertai akomodasi murah dan biaya hidup yang relatif terjangkau.
Pilihan menjadi jelas bagi sebagian masyarakat kelas menengah: berlibur ke negeri tetangga bisa lebih murah daripada menjelajahi negeri sendiri. Tiket murah, hotel bersih dengan harga masuk akal, makanan lezat dengan pelayanan ramah, dan kemudahan akses transportasi lokal menjadi kombinasi yang menggoda. Bukan soal tak cinta negara sendiri, tetapi soal logika ekonomi yang dipaksa rakyat terima.
Pertanyaan pun mengemuka: mengapa harga transportasi domestik begitu tinggi? Di mana negara ketika masyarakatnya dipaksa membayar mahal untuk sekadar pulang kampung atau menjenguk keluarga?
Modernisasi yang Menyisakan Elitisme
Beranjak ke moda transportasi darat, khususnya kereta api di Pulau Jawa, publik patut mengakui adanya perbaikan signifikan. Stasiun kini bersih dan tertib, layanan semakin profesional, dan waktu tempuh makin singkat berkat jalur ganda dan elektrifikasi. Namun di balik gemerlap modernisasi itu, ada realitas lain yang membayangi.
Tiket kereta Jakarta–Yogyakarta untuk kelas eksekutif kini bisa mencapai Rp600 ribu, bahkan Rp1,5 juta untuk kelas tertinggi. Tiket ekonomi pun tak lagi murah, berkisar Rp300–400 ribu. Untuk keluarga kecil yang ingin bepergian, biaya ini cukup memberatkan. Apalagi jika dibandingkan dengan janji lama: kereta sebagai transportasi “rakyat”. Realita kini menunjukkan bahwa inklusivitas itu perlahan memudar, tergantikan oleh segmentasi pasar yang semakin menjauh dari kelompok ekonomi bawah.
Yang lebih mengusik lagi, di dalam stasiun dan gerbong, ekosistem konsumsinya menyerupai pusat perbelanjaan eksklusif. Mie instan yang biasa dibeli Rp5.000 di warung, bisa dijual Rp17.000 di atas kereta. Air mineral, kopi, hingga roti mengalami kenaikan harga dua hingga tiga kali lipat. Semua terkesan seragam: mahal dan tak ramah dompet rakyat kecil.
Apakah ini bagian dari “pengalaman premium”? Jika iya, mengapa seluruh pengguna, termasuk yang hanya mampu membeli tiket ekonomi, tetap dipaksa masuk dalam skema harga premium?
Ketimpangan dan Ketiadaan Regulasi
Prof. Bambang Susantono, pakar transportasi yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Perhubungan dan kemudian memimpin Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk kawasan Asia Tenggara, menyebut bahwa mahalnya biaya transportasi publik bukan semata akibat mekanisme pasar. “Ini adalah konsekuensi dari minimnya regulasi terhadap harga-harga turunan. Pemerintah harus punya keberanian untuk membatasi margin keuntungan di fasilitas umum, terutama yang dikelola BUMN,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Menurutnya, jika BUMN transportasi dibiarkan sepenuhnya mengacu pada logika bisnis, maka peran negara sebagai pelindung rakyat tergerus. “Transportasi publik harusnya bukan hanya mengejar untung, tetapi mewujudkan keadilan akses,” tegas Bambang.
Sementara itu, Dr. Ignasius Rinaldi, sosiolog dari Universitas Indonesia, menekankan pentingnya melihat transportasi dari lensa sosiologis. “Transportasi bukan sekadar alat mobilitas, tetapi simbol keadilan sosial. Ketika biaya perjalanan menjadi beban berat bagi masyarakat kecil, negara sedang secara tidak langsung mendiskriminasi mereka,” katanya.
Ia menambahkan, “Ketika seseorang harus berpikir dua kali hanya untuk pulang kampung, artinya negara gagal membangun rasa kepemilikan bersama atas ruang hidup dan konektivitas.”
Masalah Struktural dan Ancaman Kemiskinan Baru
Laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis Bank Dunia pada April 2025 menegaskan bahwa Indonesia berada dalam posisi rentan. Meskipun telah masuk kategori negara berpendapatan menengah atas sejak 2023, angka kemiskinan masih tinggi jika diukur menggunakan standar global.
Dengan ambang batas kemiskinan negara berpendapatan menengah atas sebesar US$6,85 per hari (sekitar Rp108.000), sebanyak 60,3% penduduk Indonesia—setara 171,9 juta orang—tergolong miskin. Lebih dari itu, laporan Bank Dunia 2024 juga menyebut bahwa 40% penduduk Indonesia sangat rentan tergelincir menjadi “miskin baru” jika terjadi guncangan ekonomi ringan, seperti kenaikan biaya transportasi dan logistik.
Fakta ini memperlihatkan betapa vitalnya fungsi subsidi dan kontrol harga dalam sektor transportasi. Ketika ongkos perjalanan terus melambung, rakyat dipaksa mengorbankan kebutuhan lain, termasuk konsumsi pangan dan pendidikan anak.
BUMN dan Dilema Pelayanan Publik vs Keuntungan
PT Kereta Api Indonesia (KAI), maskapai nasional Garuda Indonesia, hingga operator pelabuhan dan bandara, pada dasarnya adalah perusahaan milik negara yang dibentuk untuk memberikan layanan publik. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tekanan untuk menyeimbangkan neraca keuangan membuat BUMN cenderung bersikap seperti korporasi swasta: efisiensi, laba, dan ekspansi.
Padahal dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, BUMN seharusnya tetap memegang mandat pelayanan sosial. Menjual tiket dengan harga tinggi, menaikkan harga makanan dalam perjalanan, atau menciptakan ruang tunggu eksklusif di bandara dan stasiun, adalah bentuk lain dari komersialisasi ruang publik.
Pemerintah perlu meninjau ulang paradigma ini. Transportasi bukan barang mewah. Ia adalah infrastruktur dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Negara tidak boleh lepas tangan dengan alasan efisiensi fiskal atau kompetisi global.
Saatnya Negara Hadir, Bukan Sekadar Menyapa
Presiden, menteri, dan pejabat negara kerap menyebut kata “kehadiran negara”. Namun kehadiran itu tak cukup lewat seremoni atau pidato. Ia harus nyata terasa oleh rakyat, terutama dalam hal yang paling mendasar: mobilitas.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang suka bergerak: mudik, berziarah, berdagang, merantau, hingga sekadar berlibur. Mobilitas adalah bagian dari budaya dan dinamika sosial kita. Ketika biaya bergerak menjadi terlalu mahal, maka masyarakat dipaksa membatasi ruang hidupnya, kehilangan akses ke jejaring sosial, dan merasa terasing di negeri sendiri.
Negeri ini terlalu indah untuk hanya dinikmati oleh segelintir orang. Pemerintah, khususnya kementerian terkait dan BUMN transportasi, harus menata ulang skema tarif, melakukan intervensi harga untuk fasilitas pendukung, dan mengatur kembali batas kewajaran dalam mekanisme bisnis transportasi publik.
Mie Instan sebagai Simbol Perlawanan
Ketika harga mie instan di atas kereta melonjak tiga kali lipat, itu bukan sekadar soal harga makanan. Ia adalah simbol keganjilan. Di negara di mana sebagian besar rakyat hidup di bawah standar global, negara tak boleh diam saat mie instan pun tak lagi terjangkau.
Narasi ini bukan keluhan. Ini jeritan hati rakyat yang mencintai negerinya, tetapi tak mampu menjelajahinya. Sudah waktunya pemerintah berhenti menjual mimpi mahal dengan wajah pelayanan publik. Negara harus hadir—tidak hanya dalam baliho dan berita, tapi dalam tiket yang terjangkau dan mie instan yang tetap murah. (*)
Padang, 5/2025
(Catatan perjalanan dari Jakarta ke Jogja pulang pergi )