HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Ketika Pucuk Pemerintahan Abai Terhadap Disrupsi: Sebuah Tanda Bahaya

August 24, 2025 06:08
Kapal dagang Amerika di torpedo oleh Jerman pada Perang Dunia I (Foto: net/ ist)
Kapal dagang Amerika di torpedo oleh Jerman pada Perang Dunia I (Foto: net/ ist)

Kuldip Singh
Founder Jardy Institut

HATIPENA.COM – Insiden paling terkenal adalah penenggelaman RMS Lusitania oleh kapal selam Jerman (U-boat) pada 7 Mei 1915. Meskipun Lusitania adalah kapal penumpang berbendera Inggris, serangan itu menewaskan 128 warga negara Amerika, dan memicu kemarahan besar di AS.

Serangan-serangan Jerman terhadap kapal dagang netral (termasuk milik atau berisi warga AS) melalui perang kapal selam tak terbatas (unrestricted submarine warfare) menjadi salah satu alasan utama Amerika akhirnya masuk ke Perang Dunia I pada tahun 1917.

Jadi, PD I yang melibatkan torpedo Jerman terhadap kapal dagang/penumpang yang terkait AS adalah contoh klasik bagaimana sebuah peristiwa yang tampak terbatas dapat menjadi pemicu perubahan geopolitik besar.

Dunia tidak berjalan linear. Ia bergerak dalam gelombang disrupsi—krisis yang mendadak, tak terduga, dan penuh konsekuensi. Ketika pucuk pemerintahan suatu negara tidak mengenali pola maupun sekuens dari disrupsi global, maka risiko kebijakan yang keliru menjadi jauh lebih besar. Disrupsi bukan sekadar gangguan—ia adalah sinyal untuk memperbarui cara berpikir dan bertindak.

Sejarah telah memberi contoh. Pada Perang Dunia I dan II, Amerika Serikat sempat lamban dalam membaca eskalasi konflik Eropa. Meskipun Inggris memberikan laporan intelijen dan diplomasi mengenai ancaman Jerman, sebagian elit politik AS masih terjebak dalam narasi isolasionis, menilai konflik itu sebagai urusan regional. Baru setelah serangan Pearl Harbor (PD II), AS tersadar bahwa mereka tidak bisa lagi berdiri di luar pusaran geopolitik global. Ketertinggalan itu dibayar mahal: nyawa, logistik, dan keterkejutan nasional.

Kini, pada era revolusi post-mesin dan otomatisasi, dunia memasuki fase 0.4: kemajuan rekayasa material, produk mesin otonom, dan inovasi kecerdasan robotika. Ketegangan global bukan hanya tentang perang, tetapi juga tentang ekonomi digital, perubahan iklim, energi, siber, dan sistem keuangan internasional. Jika jajaran tertinggi pemerintahan gagal membaca peta ini—bahkan menolak berdialog dalam kerangka disruptif—maka keputusan strategis berisiko menjadi reaktif, lemah, bahkan kontra-produktif.

Disrupsi adalah Panggilan untuk Bertindak Cepat dan Tepat

Kepemimpinan yang tidak sigap membaca dunia adalah titik rawan bagi kedaulatan negara sendiri.

Contoh nyata kepemimpinan yang belum sigap membaca dunia terlihat baru-baru ini, ketika Wakil Presiden Gibran menghadiri acara Program Pendidikan Pimpinan Nasional (P3N) XXV dan Program Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) LXVIII tahun 2025.

Seorang perwira tinggi TNI, Laksamana Pertama Arif Badrudin, lulusan S-3, mengajukan pertanyaan strategis seputar geopolitik dan inisiasi pemanfaatan AI dalam kerangka non-blok. Alih-alih menjawab dalam kerangka geopolitik yang diajukan, jawaban Wapres lebih condong ke aspek administratif, dengan arahan singkat agar usulan disampaikan langsung ke CEO Danantara dan ditutup dengan permohonan doa bagi Presiden.

Dialog ini, meski sekilas sederhana, menjadi cermin penting: betapa pucuk pimpinan mesti memiliki horizon pandang yang luas, bukan hanya administratif, agar tidak gagal membaca sinyal-sinyal disrupsi geopolitik global. (*)