Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ketika Waktu pun Ditawar

March 20, 2025 07:43
IMG_20250320_074033

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Ada yang tak bisa dikompromikan di dunia ini; waktu. Jam berdetak, tak menunggu siapa pun.

Enam puluh detik menjadi satu menit, enam puluh menit menjadi satu jam, dua puluh empat jam menjadi satu hari.

Setelah Senin pasti Selasa, setelah Rabu pasti Kamis. Tidak bisa digeser, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Tak bisa pula dibalik, setelah Kamis menjadi Rabu.

Waktu terus melangkah ke depan.

Ditahu atau tidak ditahu, dimengerti, atau tidak dimengerti, dipercaya atau pun tidak dipercaya, semesta mengatur demikian, itulah hukum alam, itulah ilmu pasti, dan manusia hanya bisa mencatatkannya.

Di Bali, pencatatan itu merujuk pada matahari (surya) dan bulan (candra).

Satu bulan candra disebut sasih, terbagi menjadi pangelong dan penanggal. Setelah purnama pasti tilem, setelah tilem pasti purnama.

Masing-masing 15 hari, sehingga dalam hitungan genap menjadi 30 hari. Itulah perhitungan satu bulan candra/sasih, dirata-ratakan 30 hari.

Tapi perhitungan ini tak selalu bulat, karena sejatinya pangelong dan penanggal adalah 14,5 hari.

Maka, suatu ketika, perhitungan itu harus dikoreksi menjadi 14 hari. Inilah yang disebut pengalantaka—dalam perhitungan Masehi, ia dikenal sebagai kabisat.

Agar manusia tak keliru menghitungnya, alam memberikan pengingat: gerhana matahari (gerha) dan gerhana bulan (kepangan).

Saat gerhana terjadi, matahari, bumi, dan bulan berada dalam garis tegak lurus. Saat itulah perhitungan kembali nol, dan esoknya dimulai lagi dari pangelong ping pisan atau penanggal pisan.

Siklus ini berulang, tak pernah meleset karena hukumnya pasti.

Namun, ketika manusia berusaha memundurkan waktu 30 menit, atau memajukannya, paradoks pun lahir. Waktu adalah kepastian mutlak, tapi di hadapan keinginan manusia, ia coba dinegosiasi.

Bagaimana mungkin sesuatu yang tak bisa dimundurkan, atau dimajukan dipaksa bergeser?

Jika detik bisa ditawar, apakah hari bisa ditukar? Apakah setelah Senin, bisa langsung Rabu?

Di Bali, perhitungan waktu berpijak pada gerak langit—bulan mengelilingi bumi, bumi mengelilingi matahari. Ada perhitungan candra dan surya.

Perhitungan candra menciptakan sasih, saka, dan dine seperti yang dikenal sekarang.

Perhitungan surya membentuk siklus 420 hari dalam dua tahun surya Bali, yang berpijak pada 210 hari dalam satu siklus pawukon.

Waktu adalah ketetapan, tak bisa disesuaikan dengan kehendak. Ia bukan meja yang bisa dipindahkan, bukan kain yang bisa dipotong.

Jika perhitungan ini diubah, maka di Bali manusia telah menciptakan dunia paradoks: di mana yang pasti menjadi tak pasti, dan yang seharusnya tetap malah digoyahkan oleh keinginan.

Maka, jika waktu benar-benar bisa ditawar, ke mana perginya kepastian? (*)

Denpasar, 20 Maret 2025