Ilustrasi : Bagindo Ishak
Penulis : Bagindo Ishak
Ciloteh “Catuih Ambuih”
HATIPENA.COM – Dalam diskusi tentang ketokohan di Indonesia, ada anggapan bahwa saat ini tidak ada tokoh besar dari Minangkabau yang benar-benar menonjol dalam kancah nasional. Pandangan ini mengandung kebenaran jika dilihat dari sudut keterlibatan dalam kekuasaan politik formal. Namun, apakah ketokohan hanya dapat diukur dari jabatan atau dominasi ekonomi? Ataukah justru dari kontribusi pemikiran dan nilai yang diwariskan untuk kemajuan bangsa?
Pendidikan dan Peran Intelektual Minang
Mengutip tulisan Mantan Gubernur Sumatera Barat dan Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dengan judul tulisan ” Bersyukur Masih Nomor Dua” dengan menampilkan Sebuah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa suku Batak memiliki persentase tertinggi lulusan sarjana strata satu (S1) di Indonesia, yakni 18,02 persen, disusul oleh suku Minangkabau dengan 18,00 persen. Selisih 0,02 persen memang kecil secara persentase, tetapi dalam jumlah individu, ini tetap signifikan.
Fakta ini menunjukkan bahwa orang Minang masih memiliki tradisi intelektual yang kuat. Sejarah mencatat bahwa tokoh-tokoh Minangkabau lebih sering menonjol dalam bidang pemikiran, sosial, dan pergerakan dibandingkan dengan dominasi politik. Dari Tan Malaka, Mohammad Hatta, hingga Buya Hamka, mereka bukan sekadar politisi atau pejabat negara, tetapi pemikir yang memberi arah bagi bangsa.
Namun, berbeda dengan era sebelum reformasi, saat ini nama-nama besar dari Sumatera Barat tampaknya kurang bersinar dalam panggung nasional, terutama dalam konteks kekuasaan formal.
Ketokohan: Jabatan vs Perjuangan Nilai
Dalam teori sosiologi Max Weber, ada tiga jenis otoritas:
1. Otoritas Tradisional – berdasarkan adat dan warisan budaya.
2. Otoritas Kharismatik – muncul dari daya tarik dan kepemimpinan pribadi seseorang.
3. Otoritas Legal-Rasional – berbasis pada aturan dan institusi.
Sejarah menunjukkan bahwa orang Minang lebih banyak bergerak dalam otoritas kharismatik—mengandalkan pengaruh moral dan intelektual dibandingkan kekuasaan struktural. Namun, di era modern ini, politik menjadi lebih pragmatis. Ketokohan sering kali diidentikkan dengan jabatan dan kekuasaan, bukan dengan gagasan atau perjuangan nilai.
Sejarawan Taufik Abdullah pernah mengatakan bahwa “Minangkabau adalah bangsa perantau yang menguasai kata-kata.” Ini menegaskan bahwa kekuatan utama orang Minang adalah pemikiran dan wacana. Namun, di era politik yang lebih transaksional, apakah pemikiran semata cukup untuk membawa perubahan?
Dominasi Kekuasaan vs. Perjuangan Nilai
Reformasi yang diharapkan membawa demokratisasi justru melahirkan sistem politik yang lebih transaksional. Korupsi yang semakin mengakar membuat idealisme semakin sulit dipertahankan. Dalam kondisi seperti ini, banyak tokoh lebih memilih jalur kekuasaan dibandingkan perjuangan nilai.
Dalam pemerintahan nasional saat ini, beberapa tokoh berdarah Minang memang terlibat, tetapi mereka tidak dominan dalam menentukan arah kebijakan negara. Di bidang ekonomi, pengusaha Minang tetap eksis, tetapi lebih banyak dalam lingkup bisnis keluarga dan jaringan informal, bukan sebagai konglomerat besar yang menguasai modal nasional.
Pertanyaannya, apakah orang Minang hari ini masih berkontribusi dalam pemikiran dan nilai untuk kemajuan bangsa? Jika melihat figur seperti Yusril Ihza Mahendra dalam hukum, Fadli Zon dalam politik, atau Emil Salim dalam ekonomi dan lingkungan, mereka masih termasuk pemikir penting bangsa. Namun, jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan era sebelumnya, dan pengaruh mereka lebih bersifat individu daripada sebagai sebuah gerakan intelektual yang solid.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak tokoh Minang baru dihargai setelah meninggal dunia. Mereka sering kali berjuang melawan arus kekuasaan, bukan menjadi bagian darinya. Ini mengingatkan kita pada Natsir, Hamka dan pemikir seperti Tan Malaka, yang baru diakui secara luas setelah gagasannya terbukti relevan bagi generasi berikutnya.
Perubahan Orientasi Perjuangan di Era Reformasi
Era reformasi membawa perubahan orientasi dalam perjuangan politik. Tokoh-tokoh Minang yang dahulu dikenal sebagai pemikir dan penggerak sosial kini lebih sulit menembus sistem politik yang semakin pragmatis. Akibatnya, ketokohan Minang kurang terlihat di permukaan jika ukuran ketokohan hanya dilihat dari jabatan dan kekuasaan.
Namun, jika kita kembali kepada akar budaya Minangkabau yang lebih mengedepankan nilai dan pemikiran, kontribusi mereka tetap ada. Hanya saja, di era modern ini, politik dan ekonomi lebih menonjol dibandingkan intelektualitas.
Ruang untuk Gagasan Besar
Di tengah pragmatisme politik yang makin kuat, pertanyaan yang lebih besar adalah bukan hanya apakah orang Minang masih berkontribusi dalam pemikiran dan nilai, tetapi apakah bangsa ini masih memberi ruang bagi gagasan-gagasan besar untuk berkembang?
Jika politik hanya dipenuhi oleh mereka yang mengejar kekuasaan tanpa mempertimbangkan nilai dan pemikiran, maka bukan hanya Minangkabau yang kehilangan ketokohan, tetapi seluruh bangsa ini yang akan kehilangan arah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf Antonio Gramsci, “Krisis terjadi ketika yang lama belum mati, tetapi yang baru belum lahir.” Mungkin, kita sedang berada dalam masa peralihan, di mana ketokohan baru belum menemukan bentuknya. Namun, satu hal yang pasti: pemikiran dan nilai yang diwariskan tetap akan menjadi fondasi bagi masa depan.(*)
Padang, 11 Februari 2025