Foto : Istimewa/Dok. Pribadi
Oleh: Wahyu Iryana *)
HATIPENA.COM – Ia lahir di antara tanah yang basah,
di Sukadana, di bawah langit yang digarisi doa.
Angin membawa suara ibu yang lirih,
membisikkan ayat-ayat pertama ke telinganya,
sementara fajar menyentuh ubun-ubunnya dengan lembut.
Ia tumbuh di bawah naungan kitab-kitab,
huruf-huruf Arab yang menari di matanya
menjadi bekal dalam sujud yang panjang,
di pesantren, di tanah yang merindu hujan.
Ia paham bahwa iman bukan sekadar ucapan,
melainkan luka yang harus diterima,
jalan yang harus dilalui,
cahaya yang harus dijaga dari redupnya zaman.
-0-
Ketika kota-kota berubah menjadi bara,
ketika penjajah datang dengan sepatu beratnya,
ia berdiri di antara mereka yang menolak tunduk,
mengangkat suara, mengangkat doa,
mengangkat marah yang ia jaga di dadanya.
Di masjid-masjid, di rumah-rumah yang sunyi,
ia mengajarkan tentang tanah yang harus dibela,
tentang kemerdekaan yang bukan sekadar mimpi,
tetapi harga diri yang tidak bisa dibeli.
Orang-orang datang kepadanya,
membawa harapan yang nyala kecilnya hampir padam.
Ia meniupnya perlahan,
mengajarkan bahwa keberanian adalah bentuk lain dari iman.
-0-
Tapi sejarah sering kali tak punya mata,
ia buta pada mereka yang bercahaya.
Pada suatu malam yang gelap,
ketika nyanyian hujan menggantikan adzan,
mereka datang kepadanya.
Tangan-tangan kasar mencengkeram lengan rapuhnya,
menariknya dari sujud terakhirnya.
Ia tidak melawan,
karena ia tahu,
beberapa pertempuran tidak bisa dimenangkan dengan kepalan,
hanya dengan keheningan.
Mereka membungkusnya dengan goni,
seperti petani yang menyimpan padi,
tapi ini bukan musim panen.
Ini musim gelap,
di mana yang berani berbicara
harus belajar bernafas di dalam air.
Ia dilempar ke sungai,
air yang dulu menyucikan tubuhnya
kini menjadi saksi terakhir bagi napasnya.
Ia tenggelam bersama doa-doanya,
bersama perjuangannya,
bersama sejarah yang terlalu sering dihapuskan.
Tapi tidak,
ia tidak benar-benar tenggelam.
Namanya tetap hidup di udara yang kita hirup,
di tanah yang kita pijak,
di doa-doa yang mengalir setiap pagi.
Ia adalah nyanyian yang tak bisa dihentikan,
ia adalah hujan yang turun tanpa diminta,
ia adalah iman yang terus menyala
di dada mereka yang tak sudi menyerah.
Sejarah mencoba menenggelamkannya,
tapi kita tahu,
yang tenggelam hanya raganya,
bukan suaranya,
bukan perlawannya,
bukan namanya.
Ia masih ada.
Di sungai yang mengalirkan keberanian.
Di udara yang membawa kenangan.
Di dada yang masih berani menolak tunduk. (*)
*) Penyair Dari Kota Kembang, Yang diciptakan Ketika Tuhan Tersenyum