Oleh ReO Fiksiwan
“Uang adalah contoh paling murni di mana sarana diubah menjadi tujuan. Segalanya bernilai kalau menghasilkan banyak uang. Nilai manusia direduksi ke ekspresi moneter.” — Georg Simmel (1858-1918), Philosophie des Geldes (Edisi Jerman, 1900).
HATIPENA.COM – Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati (63) ke Purbaya Yadhi Sadewa (61) bukan sekadar rotasi jabatan, melainkan titik balik dalam narasi fiskal Indonesia.
Sri Mulyani, dengan reputasi global dan keteguhan teknokratisnya, telah menjadikan fiskal sebagai instrumen stabilitas makro yang nyaris tak tergoyahkan.
Namun, stabilitas bukanlah tujuan akhir. Ia adalah sarana, dan seperti yang dikatakan Georg Simmel dalam The Philosophy of Money (Edisi pertama Jerman, Philosophie des Geldes), ketika sarana berubah menjadi tujuan, maka makna kehidupan sosial mulai terdistorsi.
Uang, dalam pandangan Simmel, adalah bentuk paling abstrak dari nilai, dan justru karena itu, ia bisa menjadi alat pembebasan atau belenggu tergantung bagaimana manusia memaknainya.
Dalam konteks fiskal (Latin: fiscus = tas/perbendaharaan), kita telah lama memuja angka: defisit, surplus, rasio utang, yield obligasi. Namun, apakah angka-angka itu benar-benar mencerminkan kesejahteraan rakyat?
Ataukah kita telah terjebak dalam mitos fiskal, di mana keberhasilan diukur dari neraca, bukan dari meja makan rakyat?
Purbaya Sadewa, dengan latar belakang LPS dan pendekatan yang lebih pragmatis, dihadapkan pada tantangan besar: mengembalikan fiskal ke pangkuan fakta, bukan sekadar mitos teknokratis.
John Maynard Keynes (1883-1946), dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936; Terjemahan Gama Univ. Press, 1991), menekankan bahwa uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga cermin dari harapan dan ketakutan.
Tingkat bunga, dalam teori Keynes, bukan sekadar harga uang, tetapi indikator psikologi kolektif masyarakat terhadap masa depan. Ketika bunga naik, harapan menurun. Ketika bunga turun, ketakutan akan inflasi meningkat.
Fiskal, dalam perspektif Keynesian, harus menjadi alat intervensi aktif untuk mengelola ekspektasi, bukan sekadar menjaga disiplin anggaran.
Di tengah krisis fiskal yang ditandai oleh pelemahan daya beli, stagnasi investasi, dan tekanan utang, pendekatan Keynesian menjadi relevan kembali: belanja negara harus diarahkan untuk menciptakan permintaan, bukan sekadar efisiensi. Namun, uang bukan hanya soal ekonomi.
Jacob Needleman (1934-2022), dalam Money and the Meaning of Life (1991), mengajak kita melihat uang sebagai entitas spiritual dan psikologis.
Ia menyebut bahwa uang memiliki kekuatan untuk membentuk identitas, relasi, bahkan takdir.
Dalam astrologi uang versi Needleman, uang adalah cermin jiwa zaman. Tulisnya: “Kita telah mengetahui harga dari segala sesuatu, dan nilai dari ketiadaan.“
Dalam buku tersebut, Needleman juga menekankan bahwa uang memiliki pengaruh emosional dan spiritual yang mendalam terhadap siapa kita dan apa yang kita yakini tidak bisa kita miliki.
Ia menyebut bahwa uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga cermin dari pencarian makna hidup, dan bahwa kesalahan terbesar dalam materialisme bukanlah keserakahan, melainkan kegagalan memahami realitas batin kita sendiri
Ketika masyarakat kehilangan makna, uang menjadi pengganti nilai. Ketika negara kehilangan arah, fiskal menjadi ritual kosong.
Maka, solusi fiskal bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal pemulihan makna.
Kita harus bertanya: untuk siapa fiskal ini bekerja? Apakah ia melayani rakyat, atau melayani sistem yang sudah kehilangan jiwa?
Solusi krisis fiskal Indonesia harus dimulai dari rekonstruksi makna uang.
Pertama, fiskal harus diarahkan untuk membiayai produksi nilai, bukan sekadar konsumsi angka. Investasi pada pendidikan, riset, dan wirausaha lokal harus menjadi prioritas.
Kedua, bunga utang harus dikelola dengan pendekatan Keynesian: bukan sekadar menekan inflasi, tetapi menciptakan ruang fiskal untuk ekspansi produktif.
Ketiga, transparansi fiskal harus melampaui laporan keuangan: ia harus menjadi narasi publik yang bisa dimengerti dan dikritisi oleh rakyat.
Dan terakhir, fiskal harus kembali menjadi alat pembebasan, bukan alat kontrol. Ia harus membuka ruang bagi kreativitas sosial, bukan menutupnya dengan regulasi dan birokrasi.
Purbaya Sadewa memulai tugasnya di tengah badai. Tapi badai juga bisa menjadi awal dari pembaruan.
Jika ia mampu menjadikan fiskal sebagai fakta yang berpihak pada rakyat, bukan mitos yang melayani sistem, maka pergantian ini bukan sekadar transisi, tetapi transformasi.
Karena pada akhirnya, seperti yang dikatakan Simmel, uang adalah sarana. Dan hanya manusia yang bisa menentukan ke mana arah sarana itu membawa kita. (*)
coverlagu: Lagu “Money” dari Chrisye dirilis pada tahun 1983 sebagai bagian dari album berjudul Resesi.
Album ini merupakan salah satu karya eksperimental Chrisye yang menggambarkan keresahan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia saat itu, dengan nuansa musik yang lebih gelap dan lirik yang kritis.
Lagu “Money” sendiri ditulis oleh Yockie Suryo Prayogo dan Erros Djarot (75), dua kolaborator penting dalam perjalanan musikal Chrisye.
Tema lagu ini menyoroti obsesi manusia terhadap uang dan dampaknya terhadap nilai-nilai kehidupan—sejalan dengan semangat album Resesi yang banyak mengangkat isu sosial.