Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Di negeri ini, paradoks bukan lagi sebuah anomali, melainkan keniscayaan. Sebuah komite yang membidangi hukum, ironisnya, tampak tak paham hukum.
Lebih dari sekadar ketidaktahuan, ini menjelma sebagai absurditas kelembagaan yang mencederai logika dan etika.
Pagi ini, di jagat maya yang tak pernah tidur, beredar sebuah surat dengan kop resmi lembaga tinggi negara (DPD RI). Namun, ada yang ganjil—kop surat itu bukan sekadar identitas institusi, melainkan telah diklaim secara pribadi.
Nama seseorang tertera seolah menyatu dengan lembaga, seakan individu adalah institusi itu sendiri. Sebuah permainan simbol yang berbahaya bagi sebuah institusi lembaga tinggi negara di negeri tercinta ini.
Kekeliruan atau Kesengajaan? Jika ini sebuah kekeliruan, maka ia adalah kesalahan mendasar yang tak seharusnya dilakukan oleh mereka yang membidangi hukum. Jika ini sebuah kesengajaan, maka ada kepentingan yang sedang bermain di baliknya. Sebuah eksploitasi kelembagaan untuk keuntungan pribadi, entah demi pencitraan, pengaruh, atau sekadar unjuk kuasa dalam balutan legalitas semu.
Bukankah hukum harusnya menjadi pagar, bukan alat untuk mendobrak aturan? Lalu, ketika yang berwenang justru berpotensi melanggar hukum, siapa yang akan mengadili? Ataukah hukum telah bertransformasi menjadi permainan kata-kata yang dapat dibelokkan sesuai kepentingan?
Dalam absurditas ini, diduga membalut tiga pelanggaran mendasar yang mengemuka:
- Penyalahgunaan Identitas Resmi – Sebuah lembaga adalah entitas kolektif, bukan milik individu. Menjadikan simbol kelembagaan sebagai alat personal adalah pengkhianatan terhadap esensi institusi itu sendiri.
- Penggunaan Simbol Resmi tanpa Izin – Simbol negara bukan sekadar ornamen, melainkan representasi kedaulatan. Menggunakannya secara serampangan sama dengan merusak kredibilitas lembaga.
- Pencemaran Nama Baik Lembaga – Ketika simbol resmi digunakan untuk kepentingan pribadi, kepercayaan publik pada institusi pun terkikis. Yang tersisa hanyalah bayangan kekuasaan yang kehilangan legitimasi moral.
Dunia paradoks ini mungkin masih memberikan ruang bagi para pelanggar untuk berdalih. Namun, aturan tetaplah aturan. Jika pelanggaran ini terus dibiarkan, maka sanksi—baik administratif maupun pidana—hanya menunggu waktu untuk dijatuhkan.
Pada akhirnya, negeri ini akan terus berkutat dalam kontradiksi. Hukum menjadi senjata sekaligus pelindung bagi mereka yang lihai memainkannya.
Dan kita, rakyat biasa, hanya bisa bertanya: di mana keadilan bersembunyi? Ataukah ia telah tenggelam dalam pusaran kepentingan yang tak lagi mengenal batas? (*)
Denpasar, 30 Januari 2025