Oleh ET Hadi Saputra
HATIPENA.COM – Di panggung teater dunia yang megah, di mana setiap negara sibuk berebut peran utama, Indonesia dengan anggun memilih peran sebagai penonton setia. Kita sering mendengar ceramah tentang posisi strategis Indonesia: letak geografis, kekayaan alam melimpah, dan populasi yang konon akan menjadi bonus demografi. Namun, di antara semua potensi itu, ada satu hal yang luput dari pandangan mata kritis—betapa mahirnya kita dalam menyia-nyiakan semua keunggulan tersebut.
Kita melihat negara-negara lain ribut soal perang dagang, pergeseran aliansi geopolitik, hingga perebutan pengaruh di Laut Cina Selatan. Sementara itu, kita di sini sibuk dengan drama internal yang tak ada habisnya: polemik kebijakan yang berubah-ubah, infrastruktur yang mandek di perencanaan, dan elite politik yang lebih tertarik pada perebutan kursi daripada memikirkan nasib bangsa.
Indonesia hadir seperti tamu undangan yang datang ke pesta tapi lupa bawa kado. Kita diundang karena potensi dan jumlah, bukan karena kontribusi nyata. Petinggi kita seringkali lantang bicara di forum internasional, tapi suaranya lebih sering terdengar sebagai gema, bukan gebrakan yang menggetarkan. Seolah-olah, kita puas dengan status quo, nyaman di zona aman tanpa perlu ambil risiko atau membuat terobosan.
Lihatlah, ketika dunia sibuk dengan revolusi teknologi dan ekonomi hijau, kita masih berdebat soal hal-hal yang sudah diselesaikan oleh negara lain puluhan tahun lalu. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin regional atau bahkan pemain global, tapi kita lebih memilih untuk menjadi pengikut yang sopan.
Pentingnya Menjadi Tidak Penting
Mungkin, menjadi tidak penting adalah strategi terbaik Indonesia. Sambil negara lain sibuk saling sikut, kita bisa tenang-tenang saja, berjemur di bawah matahari tropis, dan menikmati ilusi bahwa kita adalah bangsa yang besar. Kita tidak perlu pusing memikirkan tanggung jawab global, tekanan diplomatik, atau persaingan sengit.
Semua itu bisa kita serahkan pada mereka yang memang terlalu serius dengan urusan dunia.
Jadi, ketika lain kali Anda mendengar pidato tentang “Indonesia yang disegani dunia,” ingatlah bahwa kata-kata itu seringkali hanyalah ornamen kosong. Sejatinya, kita adalah raja di negerinya sendiri yang sibuk dengan urusannya, sambil sesekali melirik ke luar jendela, seolah berkata, “Silakan saja sibuk, kami di sini santai.”
Itu mungkin cara kita untuk menunjukkan betapa uniknya kita—bahwa di tengah kekacauan global, kita memilih untuk tetap tertidur pulas dalam kedamaian dan ketidakpentingan yang kita ciptakan sendiri. (*)