HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Konstitusi: Dari Hak “Membunuh Raja” ke Hak Memakzulkan Pejabat

August 24, 2025 04:08
IMG_20250824_040606

Kuldip Singh
Founder Jardy Institut

HATIPENA.COM – Pada abad 15–16 di Italia, gagasan tentang konstitusi lahir dalam bentuk yang radikal: konstitusi dimaknai sebagai hak rakyat untuk “membunuh raja”. Maknanya bukan sekadar tindakan fisik, melainkan sebuah pesan filosofis—bahwa kekuasaan hanya sah sejauh ia mampu membaca dan memenuhi aspirasi rakyat. Jika penguasa gagal memahami kebutuhan rakyat, maka ia dianggap kehilangan legitimasi, dan rakyat berhak menurunkannya, bahkan dengan cara ekstrem.

Di sinilah akar dari konsep kedaulatan rakyat mulai dikenal. Konstitusi dipahami bukan sebagai alat penguasa untuk menundukkan rakyat, melainkan sebagai instrumen rakyat untuk mengendalikan penguasa. Tafsir keadilan pun bukan monopoli raja atau kaum bangsawan, melainkan hak rakyat itu sendiri. Seiring waktu, pemahaman “membunuh raja” berevolusi menjadi praktik modern berupa pemakzulan, yaitu mekanisme sah rakyat untuk menurunkan pejabat publik yang menyalahgunakan mandatnya.

Kedaulatan Rakyat dalam UUD 1945

Indonesia sendiri menegaskan prinsip ini secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, negara dibangun bukan atas dasar kedaulatan negara atau kedaulatan agama, melainkan kedaulatan rakyat. Inilah fondasi filosofis lahirnya Republik Indonesia.

Namun, sayangnya prinsip ini sering disalahpahami. Banyak pejabat dan anggota parlemen yang mengklaim bahwa mereka adalah perwujudan “kedaulatan rakyat”. Padahal, itu keliru. Kedaulatan rakyat tidak pernah bisa diwakilkan. Yang terjadi dalam pemilu hanyalah rakyat memberi mandat politik terbatas selama lima tahun kepada para wakilnya, bukan menyerahkan kedaulatannya. Para wakil rakyat adalah pesuruh rakyat, pelayan rakyat, bukan pemilik kedaulatan.

Kedaulatan yang Disalahgunakan

Contoh paling nyata adalah dalam pengelolaan aset negara. Presiden Prabowo pernah menyampaikan bahwa negara berhasil mengambil alih kembali 3 juta hektare lahan sawit dari korporasi besar. Pertanyaannya: setelah dikuasai kembali, untuk siapa lahan itu dikelola? Bila hanya dipindahkan dari satu kelompok serakah ke kelompok serakah lainnya, itu pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat. Seharusnya, lahan itu dikembalikan ke rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan.

Di titik ini kita melihat bagaimana jargon “kedaulatan rakyat” sering digunakan sebagai legitimasi politik negara, tetapi justru mengikis hak-hak rakyat sendiri.

Rakyat Berdaulat, Negara Pelayan

Karena itu, bila rakyat melancarkan kritik, protes, atau menyuarakan perbedaan pandangan terhadap kebijakan negara, hal itu bukan tindak kriminal. Sebaliknya, itu adalah bentuk nyata rakyat menjalankan kedaulatannya. Negara yang kuat adalah negara yang membiarkan rakyat tetap berdaulat, bukan negara yang membuat rakyat takut dengan kriminalisasi atau represi.

Para pendiri bangsa kita merumuskan UUD 1945 melalui perdebatan panjang, akademis, dan penuh kesadaran historis. Semangat itu harus dijaga. Diskursus kritis antara rakyat dan negara tidak boleh ditutup. Justru dengan membuka ruang kritik dan menjaga hak rakyat untuk bersuara, bangsa ini akan tumbuh matang dan beradab.

Intinya: dari Italia abad 15–16 hingga Indonesia modern, makna konstitusi selalu kembali pada satu hal: kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa. (*)