Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Dalam era yang sekarang ini dipenuhi oleh kecerdasan buatan, manusia dihadapkan pada paradoks baru.
Dunia bukan lagi sekadar hitam dan putih, antara yang tahu dan tak tahu, tapi kini, segala hal menjadi transparan, informasi mengalir tanpa batas, dan kebijaksanaan dapat dicari dengan sangat mudah.
Dalam derasnya arus kecerdasan ini, bagaimana dengan orang suci? Masihkah ada yang mengharapkannya menjadi orang pintar?
Dirasakan atau tidak, banyak umat kita “yang merasa pintar”, mengharapkan orang suci kita, tak hanya ngeleneng memuput upacara tapi menjadi orang pintar yang piawai berolah kata di ruang publik.
Pada kepercayaan Hindu Bali, seorang yang menapaki jalan kepanditaan bukanlah sekadar bertransformasi secara intelektual.
Ia melewati batas kehidupan, melalui ritual dwijati, ia sejatinya dianalogikan sebagai yang telah wafat sebagai walaka kemudian lahir kembali di “dunia lain” yang disebut sebagai sulinggih.
Karenanya seorang sulinggih tidak lagi sekadar manusia biasa—ia adalah perantara, penyambung antara manusia dan Hyang Widhi. Oleh karenanya, suci dan kesucian menjadi mutlak bagi seorang pandita Hindu.
Amati aran. Namanya berubah, amati genah, tempat tinggalnya menjadi geria.
Hidupnya diatur oleh sesana, tak boleh ini, tak boleh itu, segala hal yang dilakukan bukan lagi milik pribadinya, melainkan milik kesucian yang diemban dalam segala lakunya.
Tapi belakangan, banyak orang ingin lebih dari sekadar kesucian; mereka mendambakan kepintaran. Banyak yang menginginkan orang suci di Hindu menjadi orang pintar.
Seorang pandita tidak hanya suci, tapi juga harus pintar. Ia dituntut untuk piawai memberikan dharma wacana, menafsirkan ajaran, bahkan berdebat di ruang publik tentang makna-makna yang dulu tabu dan hanya bisa diterima dengan keyakinan.
Benarkah demikian? Patutkah menggeser dari suci menjadi pintar?
Di sinilah paradoks itu terjadi. Di tengah kepintaran yang mudah digapai, bahkan tak berujung melalui AI, banyak kalangan “yang merasa pintar”, ceritanya justru mencari kepintaran pada orang suci.
Benarkah mencari kepintaran? Jangan-jangan hanya menguji sang Dwijati untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya saja untuk kemudian manggut-manggut atau meboye. Padahal kepintaran berpotensi menodai kesucian?
Sementara AI kini mampu memberikan jawaban atas segala pertanyaan yang diajukan. Jika umat ingin memahami filosofi Weda, AI bisa menjabarkannya. Jika ingin memahami simbolisme upacara, AI juga bisa menguraikan dengan analisis yang mendalam, tapi ingat, AI itu mesin.
Maka, jika seorang pandita yang suci dipaksa menjadi “pintar”, di mana batas antara manusia dan mesin?
Kepintaran bisa didapatkan, dengan mudah tetapi kesucian tidak. Kesucian diperoleh dari perjalanan batin yang tak bisa direplikasi oleh algoritma.
AI bisa menafsirkan teks, tapi ia tidak bisa menjalani tapa. AI bisa menyusun pidato yang memukau, tapi ia tidak bisa menyucikan dirinya dalam laku. Sekali lagi AI adalah mesin.
Kesucian bukan tentang logika, bukan tentang analisis, melainkan tentang harmoni dengan hukum semesta, tentang keheningan yang dalam, di mana kata-kata tidak lagi diperlukan.
Orang suci bukan orang pintar. Ia adalah surya yang sinarnya diterima tanpa syarat. Sisya yang menerima cahaya dari sang guru tidak perlu mempertanyakan apakah cahaya itu benar atau salah, sebab jika ada kekeliruan, bukan sisya yang menanggung dosa, melainkan sang pandita sebagai suryanya. Inilah konsep sisya – surya itu.
Ini pulalah yang membedakan sulinggih dengan walaka yang hanya sekadar berbicara tentang ajaran.
Paradoks ini makin dalam ketika umat mulai lebih percaya pada kepintaran daripada kesucian.
Umat tidak lagi mencari mereka yang suci, tetapi terjebak pada mereka yang mampu menyampaikan pesan dengan gaya yang meyakinkan.
Apakah masih bersikeras menggeser orang suci menjadi orang pintar yang pandai berolah kata di depan publik saat medharma wacana?
Tampaknya kita harus berpikir ulang di sini, sebab dalam berhubungan dengan Ida Hyang Widhi Wasa, yang dibutuhkan adalah orang suci, seorang pandita yang menjaga kesadaran agar tetap berada dalam kesucian agar bisa membawa vibrasi kesejatian.
Bukan pandita yang piawai berdebat di ruang publik, bukan pula pandita yang menjadi sekadar penceramah, tapi pandita yang tetap menjadi perantara antara manusia dan Hyang Widhi.
Jika kita membiarkan orang suci menjadi orang pintar, maka kita akan kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar pengetahuan—kita akan kehilangan kesucian itu sendiri.
Dan, ketika kesucian hilang, siapakah yang akan membawa doa-doa kita ke hadapan Yang Maha Esa?
Dunia ini boleh dipenuhi oleh kecerdasan buatan, tetapi kesucian tetaplah milik mereka yang telah menanggalkan segalanya dalam dwijati.
Biarkan AI menjadi penerang bagi mereka yang haus ilmu, tapi jangan biarkan ia menggantikan mereka yang suci.
Karena dalam keheningan seorang pandita, ada sesuatu yang tak bisa dijawab oleh mesin—ada taksu, ada cahaya, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kepintaran.
(Ampura Ida Pandita yang tyg sucikan, tak bermaksud menilai sulinggih karena tak patut walaka demikian, ini hanya kontemplasi seorang walaka yang melihat ada keinginan banyak pihak menjadikan orang suci sebagai orang pintar)
Denpasar, 22 Maret 2025