Oleh: Sunano
Direktur Advokasi Konsumen Muslim Indonesia (AKMI) PP KB PII dan Penulis Buku Lucunya Prabowo
HATIPENA.COM – Keberadaan koperasi di Indonesia sudah lebih dari satu abad. Ketika keberhasilan Koperasi Raiffeisen di Jerman atau model Koperasi Rochdale di Inggris menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia, menginspirasi banyak tokoh untuk dikembangkan. Banyak founding father Indonesia menggunakan koperasi sebagai wadah perjuangan kemerdekaan.
Falsafah koperasi yang dibawa dari Eropa adalah sebagai lembaga perjuangan orang miskin. Di seluruh Eropa sangat berhasil. Melihat modal sosial masyarakat Indonesia, semua orang berpikir pasti akan berhasil juga. Nyatanya hampir semuanya gagal, hampir di semua bentuk. Salah satu koperasi yang berhasil hari ini adalah KOSPIN JASA yang berdiri awalnya di Pekalongan.
Ide awal koperasi merupakan lembaga murni yang didirikan oleh orang miskin. Semangatnya sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan ekonomi orang miskin, petani gurem, dan pedagang keliling. Ketika mereka menjadi anggota koperasi, mereka memiliki wadah perjuangan ekonomi. Sayangnya, ketika pemerintah terus mendorong tumbuhnya koperasi di desa-desa, peluang ini segera ditangkap oleh kelompok yang lebih mampu. Dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki akses ke atas.
Koperasi, merupakan bentuk “perjuangan” terhadap hegemoni kapitalis yang tidak hanya bicara kepentingan ekonomi, juga kepentingan sosial anggotanya. Definisi kapitalis hari ini perlu dipertajam, khususnya apa yang terjadi di desa-desa dan skala nasional secara umum.
Kapitalis yang nyata hari ini adalah ketika adanya monopoli harga, monopoli barang yang menjadi kebutuhan rakyat banyak dikuasai segelintir orang kaya (oligarki). Banyak kasus, rakyat hanya bisa “menerima” ketika tiba-tiba harga barang membumbung tinggi, mengalami kelangkaan, ukuran yang tidak sesuai takaran.
Pada banyak jenis barang, yang orang miskin, petani, atau rakyat jelata tidak bisa memproduksinya, seperti gas LPG untuk memasak, minyak goreng, semua jenis dagangan yang dijual di pasar tiba-tiba naik harganya, atau langka di pasar, yang bisa dilakukan hanya protes di jalanan dan media sosial.
Evaluasi Koperasi
Setiap pemimpin baru sejak awal kemerdekaan selalu menempatkan koperasi sebagai “soko guru” ekonomi. Pada awalnya merupakan gerakan murni rakyat secara swadaya menurut kebutuhan anggota dan menyelesaikan masalah yang ada.
Sendi koperasi mulai goyah ketika ada kepentingan memaksakan hasil yang lebih cepat. Ketika awal tahun 50-an, ketika koperasi digunakan sebagai distributor 9 pokok makanan, secara cepat ditangkap oleh orang kaya desa untuk berinvestasi. Hasilnya bagus. Bahan pokok makanan terjangkau di masyarakat. Tetapi yang untung yang memiliki modal. Ketika terjadi inflasi tahun 60-an, koperasi ini tumbang semua.
Di era Orde Baru, pemerintah mempercepat peningkatan ekonomi desa lewat pendirian KUD (Koperasi Unit Desa). Hasilnya luar biasa. Karena KUD selain disuntik modal cukup besar dari pemerintah, juga diberikan lisensi monopoli perdagangan, khususnya kebutuhan pertanian, penyerapan gabah, dan perdagangan lokal.
Masalahnya peluang koperasi ini segera ditangkap oleh segelintir orang mampu di desa, baik itu tuan tanah, petani kaya, atau kepala desa dan perangkatnya. Sedangkan pelibatan petani miskin menjadi anggota hampir tidak ada. Mereka hanya konsumen yang menikmati harga kebutuhan pertanian murah, pembelian gabah yang stabil.
Idealnya, koperasi desa ada karena swadaya, prakarsa dari bawah. Koperasi berkembang dan berhasil karena partisipasi semua orang desa, khususnya petani miskin. Mereka menjadi bagian dari anggota koperasi yang suaranya sama dengan pengurus yang lain. Namun jika menggunggu swadaya, akan berlangsung sangat lama.
Kekhawatiran Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) juga sama, karena inisiatif dari “atas”. Harus membawa beban penyelesaian masalah secara cepat di pedesaan. Sehingga proses perkembangannya tidak wajar. Pada awal pendirian seperti cendawan di musim hujan. Tumbuh subur dimana-mana, sebanyak 70.000 koperasi di seluruh Indonesia.
Karena harus menyelesaikan masalah dengan cepat, koperasi membuka kesempatan bagi orang kaya desa (tuan tanah, petani besar, kepala desa dan perangkatnya, pemilik modal) yang mampu mengelolanya. Akhirnya muncul koperasi yang malah memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin di desa. Buruh-buruh tani tidak menjadi anggota, apalagi pengurusnya. Orang miskin hanya bisa melihat dari depan rumahnya.
Strategi Percepatan
Nama koperasi, sejak KUD tinggal papan nama sudah sangat buruk. Masyarakat tidak lagi memiliki harapan kepada koperasi sebagai alat perjuangan kemerdekaan ekonomi. Meski begitu, gagasan pemerintah mendirikan Koperasi Desa Merah Putih dengan fokus pada penyerapan gabah, memberantas rentenir dan pinjol.
Untuk menyelesaikan masalah yang parah di pedesaan, pemerintah memang harus pragmatis. Dalam arti, pembentukan koperasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tingkat pedesaan dalam bentuk pemerataan. Selanjutnya, pembinaan koperasi harus dilakukan dengan sangat serius. Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian.
Pertama, prinsip anggota koperasi adalah keterlibatan mereka dalam mengembangkan modal usaha sekecil apapun. Meskipun itu koperasi kredit, simpan pinjam, semua anggota harus memiliki kesadaran menabung dan menambah modal sebagai tanggung jawab anggota koperasi. Meski pada saat yang sama dia memiliki pinjaman atau kredit ke koperasi.
Semangat ini bisa dilihat dari sejarah koperasi kredit pertama. Di Eropa, Koperasi Raiffeisen (Bank Raiffeisen) awal mula muncul di Jerman tahun 1856. Tujuannya untuk mendukung permodalan awal petani – pekerja dalam berusaha, membeli ternak hewan petani, memelihara anak-anak terlantar, mendirikan perpustakaan rakyat, dan menolong orang-orang miskin. Setelah mendapat perubahan, maka terciptalah bentuk koperasi kredit yang dapat menolong petani dari kesulitannya.
Dan di mana-mana menjadi contoh dan berkembang di seluruh Eropa dengan nama Bank Raiffeisen. Di Indonesia, zaman penjajahan Belanda, koperasi kredit dikenalkan untuk menolong petani yang terjerat rentenir dan sistem ijon ketika awal proses pengenalan uang. Prinsip utama koperasi kredit ini bukan meminjamkan, tetapi memaksa petani, orang miskin menabung. Meski pada saat yang sama dia memiliki pinjaman ke koperasi.
Kedua, anggota koperasi harus sangat terbuka dan tidak membedakan status kekayaan, agama, ras dan golongan. Jangan sampai adanya Koperasi Desa Merah Putih, anggotanya dibatasi hanya kepala desa dan perangkatnya, hanya kelompok elite desa, dan orang kaya. Sebagai gerakan pembangunan ekonomi untuk pemerataan, koperasi harus merekrut anggota sebanyak mungkin dari kelompok miskin, petani gurem, dan pelaku usaha lokal desa.
Barangkali problem utama yang dihadapi adalah sinkronisasi antara kebijaksanaan pemerintah dan prakarsa masyarakat di desa. Ketika desa menjadi wilayah penyemaian Koperasi Desa Merah Putih, sebagian besar belum siap. Baik dari pemahaman tentang aturan koperasi, sampai praktik bisnis sosialnya. Yang terpenting, falsafah koperasi harus dipahami bersama oleh pengurus Koperasi Desa Merah Putih.
Pemerintahan Prabowo memang terdesak untuk menyelesaikan masalah yang melilit ekonomi desa, yaitu pinjol, rentenir, stagnasi ekonomi dari sisi pemerataan, dan akses pada kebutuhan hidup yang semakin mahal. Percepatan pembentukan koperasi adalah melakukan migrasi dari lembaga desa yang selama ini ada dengan pendampingan dan pengawasan yang terus menerus. Karena berbagai lembaga di desa, selama ini hanya bersifat pasif sebagai pelaksana program, seperti Gapoktan pada aspek pertanian, Pokdarwis pada aspek pariwisata, Pokdakan pada aspek perikanan, KWT, dan kelompok-kelompok lain.
Ketiga, perlu membangun kolaborasi antara Kopdes Merah Putih dengan BUMDes yang selama ini sudah eksis dan terus berkembang. Sebagai lembaga ekonomi desa, BUMDes digadang-gadang sebagai landasan pembangunan ekonomi desa yang kuat, khususnya pada pengembangan potensi desa. Sedangkan koperasi adalah membangun pemerataan ekonomi, khususnya akses pada barang konsumsi yang tidak terjangkau keluarga miskin dan petani gurem.
Ambil contoh semangat Koperasi Rochdale di Inggris. Koperasi Rochdale muncul di kota kecil Rochdale, Inggris pada 1844 oleh 28 orang buruh pabrik tenun yang miskin, berusaha menyimpan 2 pence (= 8 rupiah) setiap minggu, sehingga akhirnya mereka dapat mengumpulkan masing-masing 1 pound dan menjadi modal sebanyak 28 pound. Dengan modal ini digunakan untuk membuka toko kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari para anggotanya. Agar tidak mengganggu jam kerja, toko baru dibuka setelah selesai bekerja, dijaga bergiliran, bekerja secara sukarela dan tanpa upah. Upah mereka adalah mampu membeli produk sehari-hari dengan harga lebih murah.
Mula-mula usaha mereka dicemooh. Tetapi ternyata usaha mereka terus berkembang. Dari awal anggota hanya 28 orang, pada tahun berikutnya (1845) menjadi 74 orang. Modal usaha tentunya ikut berkembang. Sampai tahun 1865, 20 tahun kemudian, anggota sudah mencapai 5.526 orang dan modal mencapai 196.234 pound.
Setelah mempunyai cadangan modal yang besar, mereka memperluas usaha dengan mendirikan pabrik tepung, mendirikan perumahan untuk dijual kepada anggotanya dengan membayar cicilan. Usaha ini semakin berkembang dan banyak dicontoh, kemudian dikenal “Rochdale Pioneers” (pelopor-pelopor Rochdale). Sekarang, koperasi mereka dikenal sebagai Koperasi Konsumsi terbesar di dunia.
Kolaborasi adalah bagaimana mendorong keluarga termiskin di desa menjadi bagian dari anggota koperasi. Itu standar keberhasilannya. Maka perlu adanya “pusat layanan koperasi” yang bertugas mendampingi dan melakukan edukasi kepada anggota dan masyarakat desa. Jika koperasi kredit, maka semua masyarakat desa berkesempatan memperoleh kredit dengan bunga sekecil mungkin. Jika konsumsi, seluruh anggota memiliki akses membeli dengan harga lebih murah dan mutu tetap terjamin. Jika koperasi produksi maka seluruh anggota mampu mendapatkan bahan baku, pemasaran produk, dan kredit pengembangan usaha yang berkualitas.
Jadi prinsipnya bukan laba yang dikejar koperasi, tetapi kesejahteraan anggota.(*)
Jakarta, 16 Maret 2025