Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Di Indonesia, mungkin tak aneh kalau ada orang yang sekali-sekali mengajak ngopi. Sekadar basa-basi atau mencari pembenaran untuk menunda pekerjaan. Tapi di Belanda—negeri kincir angin yang dikenal dengan keju, sepeda, dan ketepatan waktu—ritual minum kopi punya status lebih tinggi dari sekadar pelengkap obrolan.
Di sana, ajakan minum kopi bisa terjadi tiga hingga empat kali dalam sehari. Mulai dari pagi setelah morning report, lalu menjelang siang, setelah makan siang, dan tentu saja saat sore menjelang pulang. Dan hebatnya, itu dilakukan secara kolektif. Seolah-olah minum kopi adalah bagian dari etika kerja dan ikatan sosial.
Saya ingat, pertama kali tiba di Belanda, turun dari pesawat di Bandara Schiphol, saya sempat beristirahat sejenak. Sambil menunggu koper, saya duduk di dekat salah satu gerai kopi. Dan benar saja—hampir di setiap sudut, ada bule-bule yang sedang menyeruput kopi hangat dengan tenang. Aromanya semerbak. Menyusup pelan-pelan ke hidung, lalu merambat dan menari-nari di kepala.
Yang menarik, sebagian besar kopi yang mereka minum itu berasal dari Lampung, Indonesia. Iya, kopi kita sendiri. Tapi diracik, disajikan, dan dinikmati di negeri orang. Sementara di negeri kita, masih lebih sering menyeruput kecemasan, seduhannya adalah berita buruk, dan pahitnya bukan dari robusta, melainkan dari realita.
Kalau pun kopi beneran, kebanyakan campuran jagung, yang ampasnya ngapung kalau diseduh air panas. Padahal dibungkusnya tertera “Kopi Asli”. Atau kalau mau aman (di kantong), ya minum kopi sachet-an, walaupun rasanya ada sedikit asem-asemnya.
Lalu saya membaca sebuah artikel ilmiah yang membuat saya terdiam, minum tiga sampai empat cangkir kopi per hari ternyata dapat mengurangi risiko sakit jantung dan diabetes. Dan ketika saya mencari data kematian karena penyakit jantung di Eropa—astaga, Belanda termasuk lima besar negara dengan angka kematian jantung terendah. Ini bukan hanya statistik, tapi tamparan bagi negara pengekspor kopi.
Saya kemudian menatap cangkir saya sendiri. Isinya bukan kopi, melainkan susu. Bahkan seringkali susu gantung si Mbak tukang sayur keliling yang seksi. Manis, kental, dan bikin senang. Saya menyadari, saya tidak menyukai kopi. Saya lebih suka yang lembut-lembut, yang bikin jantung sedikit ser…ser…ser —padahal ternyata justru yang bikin jantung sehat itu adalah yang pahit, yang pekat, yang kadang getir seperti hidup ini. Ironis, bukan?
Saya yang sudah dua kali pasang ring di jantung, justru tidak punya budaya ngopi. Tapi punya budaya stres, budaya nunggu antrean BPJS, dan tentu saja budaya sabar menonton para pemimpin bicara ekonomi seolah semua baik-baik saja.
Ya, mungkin di Belanda orang-orangnya minum kopi untuk menjaga jantung. Tapi di Indonesia, jantung harus dijaga dari berita. Dari angka utang negara yang melonjak, dari debat politik yang memancing darah tinggi, dari harga cabai yang naik turun lebih tajam dari grafik EKG.
Dan kalau boleh jujur, banyak dari kita yang sakit jantung bukan karena lemak jenuh, tapi karena kenyataan yang jenuh. Kita lelah—bukan karena kolesterol—tapi karena harapan yang tak kunjung sembuh. Kita bukan kekurangan HDL, tapi kekurangan harapan, damai, dan kepercayaan terhadap sistem yang mestinya melindungi, bukan menekan.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah mungkin Indonesia bisa meniru Belanda bukan hanya dalam hal kopi, tapi dalam hal kesehatan publik, gaya hidup seimbang, dan kebijakan yang berpihak pada tubuh dan pikiran warganya?
Mari kita lihat sedikit data—biar jantung kita tidak cuma berdetak karena perasaan, tapi juga karena kesadaran.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2023, angka kematian akibat penyakit jantung mencapai 19,42 persen dari seluruh kematian. Artinya, hampir satu dari lima orang yang meninggal di Indonesia, berpulang karena masalah jantung.
Lebih mencengangkan lagi, penyakit jantung adalah penyebab kematian nomor satu di dunia, dan paling sering menyerang kelompok usia produktif—yang mestinya sedang sibuk berkarya, bukan sibuk minum obat dan antre di ruang IGD.
Ini bukan hanya angka. Ini adalah peringatan dari tubuh manusia kepada sistem sosial. Bahwa ada yang salah dalam cara kita hidup, cara kita bekerja, cara kita berpikir, bahkan cara kita diam-diam memendam stres dalam dada. Bahwa jantung bukan hanya urusan medis, tapi juga urusan negara.
Saya tidak tahu apakah kita semua harus mulai minum kopi hitam setiap hari agar jantung lebih kuat. Tapi yang pasti, kita harus belajar menerima pahit—baik dalam secangkir minuman, maupun dalam hidup. Karena kadang yang pahit justru menyelamatkan.
Saya masih suka susu gantung, yaitu susu kedelai di dalam kemasan plastik, yang digantung mbak pedagang sayur keliling. Tapi saya juga mulai berpikir untuk menambahkan sedikit kopi di dalamnya. Barangkali, dengan cara itu, jantung saya bisa bertahan lebih lama. Dan kepala saya tetap waras—di tengah negeri yang makin tidak jelas detak nadinya.
Yuk! Seruput dulu susunya. Kopi…mana kopi…? (*)