Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Menarik obrolan tentang yadnya pagi ini di media sosial yang dipicu dengan pernyataan bahwa yadnya di Bali dibilang memberatkan, dirasakan sebagai beban.
Benarkah? Saya pun berkontemplasi. Ikut rembug wacana, tak bermaksud menggurui, tapi ingin turut merenungkannya.
Secara sederhana saya memahami yadnya sebagai korban suci. Saya kira kita semua memahaminya demikian.
Coba saja diseksamai, setiap pagi, jutaan asap dupa harum semerbak mengepul di jagat Bali yang menjadikan pertanda bahwa pulau ini sungguh-sungguh sebagai pulau persembahan, sebagai pulau yadnya.
Setiap saat pula kita melihat warga Bali maturan. Berpakaian khas Bali dengan wajah gemilang mengusung banten. Potret yang sangat indah.
Dalam Gama Bali, yadnya adalah inti. Ia bukan hiasan tradisi. Ia adalah urat nadi keyakinan masyarakat Bali.
Lima pilar Panca Yadnya menjadi jalan hidup umat: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Lima arah pengorbanan: kepada Tuhan, kepada orang suci, kepada leluhur, kepada sesama, dan kepada semesta.
Yadnya berarti memberi. Bukan memberi karena disuruh, apalagi karena malu. Memberi karena sadar: bahwa hidup adalah pinjaman. Hakekat yang dipahami secara sederhana
Bahwa bunga, air, dan api yang diersembahkan bukan milik kita—semuanya milik-Nya. Yadnya hanya mengembalikan, dengan rasa hormat dan cinta.
Tapi di mana cinta itu hari ini? Di mana rasa hormat itu disembunyikan? Masihkah ada rasa itu?
Yadnya menjadi ironi. Yang sederhana dipersulit. Yang ringan dibebani. Yang suci dicemari ambisi.
Hari ini, masih terdengar orang menjual sawah untuk ngaben. Bukan untuk yadnya, tapi untuk pesta.
Yang mahal bukan banten, tapi babi. Yang berat bukan persembahan, tapi jamuan. Yang dituju bukan Tuhan, tapi tepuk tangan.
Tidak lagi mempersembahkan korban suci, tapi mempersembahkan diri untuk dipuji.
Yadnya bergeser. Dipaksa tunduk pada gengsi. Dibungkus adat, tapi diisi nafsu.
Ada pameo: “Untuk ke atas, cukup sedikit. Untuk ke teben, harus banyak.” Artinya, untuk Tuhan bisa sederhana. Tapi untuk manusia, harus mewah.
Maka yadnya tak lagi vertikal, tapi horisontal—bahkan merosot ke bawah. Bukan paramarta yang dicari, tapi popularitas.
Solusi dicoba: ngaben massal, metatah bersama. Tapi jebakan tetap ada. Biaya banten ditekan, bahkan gratis karena ada donasi, tapi biaya dekorasi, salon, dokumentasi, malah melambung. Ini bukan yadnya, ini pesta berganti nama.
Pertanyaannya sederhana: ketika yadnya terasa berat, kepada siapa sebenarnya kita mempersembahkan? Tuhan tidak meminta. Leluhur tidak menagih. Alam tidak menuntut. Yang menuntut hanyalah ego sendiri.
Di sinilah yadnya menjadi paradoks. Ia seharusnya meringankan, tapi justru memberatkan. Seharusnya menyucikan, tapi justru mencemari. Yadnya yang seharusnya tulus dan ikhlas, diseret oleh tamas dan rajas: oleh kemalasan, oleh ambisi, oleh pamer.
Padahal yadnya tidak mengenal kasta sifat. Tak ada yadnya satwik, rajas ataupun tamasika, karena satwam, rajas dan tamas itu sifat. Yadnya hanya mengenal satu hal: ketulusan. Tanpa itu, bukanlah yadnya. Tanpa itu, kata yadnya hanya jadi topeng.
Maka perlu ditanyakan ulang: apakah yang dilakukan benar yadnya? Atau kita telah mengorbankan kesucian itu sendiri?
Literasi harus ditanam kembali. Di rumah. Di desa. Di sekolah. Di pura. Agar kembali sadar: yadnya adalah jalan cinta, bukan jalan gengsi. Jalan pengorbanan, bukan pameran. Jalan pembersihan, bukan pemborosan.
Dan jika yadnya dilakukan secara kolektif, jangan pula jadikan kesucian sebagai beban. Negara harus hadir. Desa adat harus bijak. Jangan biarkan yang miskin menanggung malu hanya karena tak mampu “ikut mewah”. Karena yadnya bukan tentang besar kecilnya banten, tapi besar kecilnya hati.
Bunga, air, dan api. Itu yadnya. Itu cukup. Tapi manusia, dengan ego dan ambisinya, membuatnya tampak kurang.
Kini saatnya bertanya, dan menjawab dengan jujur: apakah yadnya kita masih suci? Atau kita sedang sibuk mempersembahkan kesucian? (*)
Denpasar, 18 Mei 2025