Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Kita

March 1, 2025 09:28
IMG-20250301-WA0051

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Negeri ini makin paradoks. Maling ada di mana-mana, berkeliaran dengan dasi, menyeringai dari balik podium, berbicara tentang moral sementara tangannya menggenggam uang rakyat.

Dulu kita bicara miliaran, lalu ratusan miliar, kemudian triliunan, lalu ratusan triliun. Kini? Entahlah, mungkin jutaan triliun, angka yang bahkan sulit disebut, apalagi dibayangkan.

Uang sebanyak itu, kalau ditumpuk, mungkin bisa membentuk gunung-gunung raksasa. Tapi bukan untuk rakyat, bukan untuk negeri ini.

Apakah kita harus diam? Menonton sambil mengelus dada, sementara negeri ini perlahan rapuh, tergerogoti dari dalam?

Tidak. Kita harus bergerak. Tapi bagaimana? Mulailah dari yang paling sederhana: dari kita, dari diri sendiri.

Jangan biarkan korupsi sekecil apa pun masuk ke rumah kita, keluarga kita, lingkungan kerja kita.

Jangan pernah berpikir bahwa korupsi hanya soal uang negara—merugikan orang lain juga korupsi. Menipu, berbohong, menyalahgunakan kepercayaan, semua itu saudaranya korupsi.

Anak-anak harus diajarkan sejak dini bahwa melawan korupsi bukan sekadar melawan pencuri uang rakyat, tetapi juga melawan kebiasaan buruk yang mengakar.

Jika sekolah meminta pungutan liar, mereka harus berani menolak. Jika ada kebiasaan membayar ini-itu tanpa aturan yang jelas, mereka harus berani bertanya.

Jangan biasakan mereka membenarkan yang salah. Karena jika sejak kecil mereka diajarkan bahwa korupsi bisa dinegosiasi, maka ketika dewasa, mereka akan menjadikannya kebiasaan.

Tapi korupsi tidak berdiri sendiri. Ia berteman akrab dengan kolusi dan nepotisme. KKN adalah satu paket.

Itulah mengapa di masa lalu ada Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang pemerintahan yang bersih dari KKN.

Tapi lihatlah sekarang, apakah kolusi dan nepotisme telah benar-benar dihapus? Tidak. Nepotisme masih terang benderang, lebih terang dari cahaya matahari.

Lihatlah kursi-kursi jabatan, perhatikan siapa yang mengisi posisi-posisi strategis itu. Apakah semua karena kompetensi? Atau karena hubungan darah?

Korupsi di anak perusahaan Pertamina yang merugikan negara Rp193 triliun, tiap tahun—siapa yang menelisik akar kolusi dan nepotismenya? Korupsi timah yang mencapai Rp300 triliun—apakah tidak ada jaringan gelap di baliknya? Bukankah para koruptor ini lahir dari sistem yang membiarkan nepotisme beranak-pinak?

Kalau negeri ini ingin bersih, mulailah dari akarnya. Bersihkan nepotisme, hancurkan kolusi, dan barulah kita bisa memerangi korupsi dengan nyata. Tanpa itu, semua hanya retorika.

Lalu, kita sebagai warga negara, apa yang bisa kita lakukan? Jangan KKN dalam bentuk apa pun. Jangan pungli, di mana pun, kapan pun. Jika sekolah tidak boleh menarik pungutan liar, maka harus konsekuen untuk tidak membayarnya. Jangan biasakan anak-anak melihat sesuatu yang ilegal menjadi biasa. Karena jika sejak kecil mereka melihat aturan bisa dilanggar dengan uang, kelak mereka akan menganggap korupsi sebagai jalan hidup.

Negeri ini tidak akan bersih jika kita terus berpura-pura tidak melihat. Tidak akan berubah jika kita hanya mengutuk tanpa berbuat. Jika ingin melawan korupsi, mulailah dari diri sendiri. Sekarang. Beranikah? Jawab dengan hati nurani yang paling dalam. Jujur.(*)

Denpasar, 1 Maret 2025